TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat transportasi, yang juga Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang mengkritisi rencana pemerintah menaikkan tarif KRL berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Ia menilai langkah tersebut bukan kebijakan yang tepat.
Pasalnya, layanan KRL merupakan public service obligation (PSO) atau kewajiban pelayanan publik. Deddy menuturkan, pemerintah memberikan pelayanan KRL sebagai imbal balik karena masyarakat sudah membayar pajak. PSO, kata dia, juga berbeda dengan subsidi yang menyasar kelompok masyarakat tertentu.
"Lagipula, yang namanya transportasi umum ya tarifnya umum," kata Deddy kepada Tempo, Rabu, 11 September 2024.
Deddy juga mengatakan pembedaan tarif KRL berdasarkan NIK bisa memicu konflik antarpenumpang. Selama ini, penumpang sudah saling berebut kursi lantaran ketersediannya yang tidak sebanding dengan jumlah penumpang. Menurutnya, konflik semacam itu akan semakin besar jika pemerintah menaikkan KRL berbasis NIK.
"Penumpang yang membayar mahal pasti akan merasa lebih berhak mendapat kursi," ujar Deddy. "Secara hukum bisnis memang tidak salah. Tapi kan tidak seperti itu."
Rencana kenaikan tarif KRL berbasis NIK muncul dari data di Buku Nota Keuangan RAPBN 2025 dari pemerintah yang diserahkan ke DPR. Mengutip Antara, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan pemberian subsisi tiket KRL berbasis NIK pada 2025 masih bersifat wacana.
Selanjutnya: Menurut Budi Karya, belum ada keputusan final ihwal kenaikan tarif KRL...