TEMPO.CO, Jakarta - Ekspor pasir laut memiliki sejarah panjang. Dibuka pada tahun 1970-an untuk memenuhi kebutuhan Singapura, penjualan pasir laut ke luar negeri ini akhirnya dihentikan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2003 karena dinilai merusak lingkungan.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan pada waktu itu mencatat pasir laut yang diekspor mencapai 2 juta meter kubik setiap hari. Dari jumlah itu, yang legal hanya 900 ribu meter kubik. Walhasil, pemerintah diperkirakan merugi 330 juta dolar AS per tahun, demikian dilaporkan Majalah Tempo, 11 Juni 2023.
Menurut Majalah Tempo, dari hasil membeli pasir Indonesia, Singapura membuat delapan pulau kecil yaitu Seraya, Merbabu, Merliau, Ayer Chawan, Sakra, Pesek, Masemut Laut dan Meskol menjadi Pulau Jurong. Seusai reklamasi, wilayah Jurong maju 3,5 kilometer ke arah barat daya.
Upaya tambah devisa ini kemudian dihentikan Presiden Megawati pada 2003 melalui SKB Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Lingkungan Hidup.
Waktu itu, Presiden Megawati menghentikan ekspor pasir laut dengan pertimbangan demi mencegah kerusakan lingkungan dan tenggelamnya pulau-pulau kecil korban pengerukan pasir.
Desakan mengizinkan kembali ekspor pasir laut mencuat sejak periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi. Ketua Asosiasi Pengusaha Pasir Laut (APPL) Herry Tousa mengaku termasuk yang mendorong gagasan tersebut. Ia beralasan, selama ini banyak pemegang izin usaha pertambangan pasir laut yang mati suri.
Sempat ada pertemuan APPL dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau yang antara lain mengizinkan pengerukan pasir untuk kebutuhan domestik. Pasir tersebut dijual ke proyek pembangunan, tapi menurut Herry harganya tidak memadai. Menurut dia, pengerukan pasir laut yang dilengkapi dokumen amdal tidak merusak lingkungan.
Gagasan ekspor pasir laut masuk Undang-undang Cipta Kerja. Aturan turunannya, PP No.5 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang terbit 2 Februari 2021, menyebut pemanfaatan pasir laut sebagai salah satu kegiatan usaha subsektor pengelolaan ruang laut berdasarkan hasil analisis risiko.
Menurut Presiden Jokowi membantah pemerintah membuka kembali keran ekspor pasir laut. Menurut dia yang diekspor pemerintah adalah sedimentasi.
“Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya. Yang dibuka, (hasil) sedimentasi,” kata Jokowi ketika memberi keterangan pers usai meresmikan Kawasan Islamic Financial Center di Menara Danareksa, Jakarta, Selasa, 17 September 2024.
Jokowi mengatakan, sedimen yang diekspor berbeda dengan pasir laut. Ia juga menyebut sedimentasi itu sebagai benda yang mengganggu alur jalan kapal di laut. “Sedimen itu beda, meski wujudnya juga pasir. Tapi sedimentasi,” ujarnya.
Keran ekspor pasir laut sebenarnya sudah ditutup selama 20 tahun. Namun, pemerintah membukanya kembali melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag di bidang ekspor.
Tanggapan Penggiat Lingkungan
Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Kecil Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Parid Ridwanuddin, mengkritik keras kebijakan pemerintah Jokowi yang membuka kembali keran ekspor pasir laut setelah 20 tahun dilarang. Menurut dia, ekspor pasir laut sama dengan menjual kedaulatan Indonesia ke negara lain.
Parid menilai penambangan pasir laut menyebabkan daratan Indonesia semakin mengecil, sementara negara lain yang mendapatkan pasir laut itu bakal makin luas daratannya. "Kalau kita lihat, kerugiannya adalah selain pulau-pulau hilang, daratan Indonesia semakin mengecil, tapi daratan tetangga sebelah tuh, Singapura semakin meluas," katanya saat dihubungi Tempo pada, Ahad, 15 September 2024.
Sebelumnya, mantan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti meminta Presiden Joko Widodo membatalkan kebijakan membuka kembali ekspor pasir laut yang sempat ditutup 20 tahun lalu. Susi berujar perubahan iklim atau climate change sudah terasa dan akan berdampak pada masyarakat. Dengan demikian, ia menegaskan jangan sampai diperparah dengan penambangan pasir laut.
Susi lantas menyarankan agar pemerintah menyewakan pulau di Tanah Air kepada negara lain selama periode tertentu ketimbang penjualan pasir laut. "Daripada kalian keruk pasirnya dan kau ekspor, kenapa kalian tidak berpikir untuk pulau kalian sewakan saja 100 tahun seperti Hong Kong disewakan ke Inggris," kata Susi Pudjiastuti, dikutip lewat akun Twitter pribadinya pada Ahad, 18 Juni 2023.
Setelah disewakan, menurut dia, pulau itu akan dikembalikan dengan pembangunan infrastruktur yang lebih bagus. Sehingga, Indonesia tidak kehilangan pulau-pulau yang dimilikinya.
RIRI RAHAYU | MAJALAH TEMPO | RIANI SANUSI PUTRI | M RAIAH MUZAKKI
Pilihan Editor Menara Kadin Diblokade, Arsjad Rasjid Optimistis Selasa Sudah Temukan Kantor Lain