TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan enggan berkomentari kritik dari ekonom Faisal Basri mengenai melonjaknya impor gula Indonesia. "Faisal Basri itu kadang-kadang... Kalau dia komentar, saya enggak mau komentar," ujar dia di Kantor Kemenko Maritim, Jakarta Senin, 14 Januari 2019.
Baca: Luhut Ajak Apple, Huawei, dan Samsung Buka Pabrik di Indonesia
Kendati demikian, Luhut memastikan pemerintah selalu mengetahui langkah apa yang mesti dilakukan untuk masyarakat. "Kami enggak bodoh-bodoh amat," kata dia. Ia menjamin pemerintah tidak pernah membodoh-bodohi rakyat.
Luhut mengatakan sepanjang masa jabatannya ia hanya ingin memberi contoh ketauladanan kepada anak buahnya. Salah satunya dengan tidak memanfaatkannya untuk meminta duit kepada pengusaha. "Kalau diisukan begini begitu, saya sudah kaya, ngapain minta duit sama orang lain," tutur mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan itu. "Kami memang enggak sempurna, tapi kami jamin kami tidak akan manipulasi yang begitu."
Sebelumnya, Faisal Basri mengaku kaget dengan data teranyar bahwa Indonesia telah menjadi importir gula terbesar di dunia. Pasalnya, selama ini, ia biasa melihat Indonesia bertengger di posisi ke-3 atau ke-4.
Berdasarkan data statista, Indonesia menjadi juara impor gula pada periode 2017-2018 dengan besar impor 4,45 juta metrik ton. Angka itu diikuti oleh Cina di posisi kedua dengan 4,2 juta metrik ton dan Amerika Serikat dengan 3,11 juta metrik ton.
Faisal lantas mengutip tren lonjakan impor gula melalui data dari Badan Pusat Statistik. Data tersebut menunjukkan bahwa impor gula ke Indonesia mulai melonjak sejak 2009 setelah sebelumnya berhasil merosot. Kala itu, Indonesia mengimpor 1,4 juta ton gula ke dalam negeri.
Angka impor itu naik perlahan sebelum akhirnya meroket pada 2016. Pada periode tersebut Indonesia mengimpor 4,8 juta ton gula atau naik 1,4 juta ton ketimbang tahun sebelumnya. "Itu meroket, kalau dilihat grafiknya, panjat tebing saja kalah," ujar Faisal Basri. Selepas periode itu sampai sekarang angka impor gula Indonesia selalu di atas 4,5 juta ton per tahun.
Yang membuat Faisal heran adalah adanya kenaikan impor yang signifikan pada periode tersebut. Padahal grafik konsumsi domestik tidak ada peningkatan secara taja,. "Naik, tapi tidak tajam," kata dia. Walau, di sisi lain ada penurunan produksi di dalam negeri.
Faisal menduga adanya praktek rente di balik melonjaknya impor gula Indonesia tersebut. Di samping, ia melihat ada perbedaan harga yang cukup signifikan antara harga gula mentah dunia dengan harga gula di pasaran.
Berdasarkan data yang ia peroleh dari beberapa sumber, harga gula di pasar dalam negeri bisa mencapai tiga kali harga dunia. Misalnya saja pada November 2018, harga gula dunia adalah Rp 4.078 per kilogram sementara harga di pasar adalah Rp 12.163 per kilogram.
Padahal, berdasarkan hitungan Faisal, harga gula rafinasi di pabrik mestinya hanya sebesar Rp 7.352 per kilogram dengan asumsi harga gula dunia per 11 Januari 2019 adalah US$ 282 per metrik ton dan ongkos pengolahan adalah US$ 200-250 per ton, serta nilai tukar rupiah Rp 14.500 per dolar AS.
Adapun Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan keputusan impor gula diambil pemerintah karena produksi gula dalam negeri selama ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri.
"Membaca twit dari orang ya? Jadi begini, saya sampaikan kita impor berdasarkan kebutuhan," kata Enggartiasto di kantornya, Kamis, 10 Januari 2019. "Produksi gula dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan baik konsumsi, apalagi industri."
Baca: Luhut Sebut Buruh Asal Cina di Morowali Hanya 3.000-an Orang
Enggartiasto menjelaskan pertimbangan pemerintah melakukan impor gula terutama dari ketidaksesuaian kebutuhan dan pasokan itu. Selain itu, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa dari pasokan gula yang ada di lapangan ternyata tak semuanya sesuai dengan kebutuhan.
Simak berita lainnya terkait Luhut di Tempo.co.