TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Celios, Achmad Hanif Imaduddin mengatakan ada indikasi program pensiun tambahan yang akan diwajibkan pemerintah sebagai siasat untuk membayar utang pemerintah. Hal ini disebabkan terjadinya defisit anggaran yang diperkirakan mencapai angka Rp 600 triliun. “Ada indikasi penarikan iuran ini untuk melunasi utang pemerintah dan menutup defisit,” tuturnya pada Jumat, 13 September 2024.
Ia menjelaskan dana yang ditarik dari masyarakat lewat berbagai iuran, termasuk program dana pensiun tambahan tersebut akan masuk pada surat utang pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN). Penerbitan SBN yang cukup agresif oleh pemerintah disebabkan pendapatan pemerintah dari pajak belum cukup untuk menutupi utang serta defisit yang ada.
Menurut Achmad, utang jatuh tempo pemerintah saat ini sudah menyentuh sekitar Rp 800 triliun dengan bunga utang sekitar Rp 500 triliun. Sehingga total utang sudah mencapai lebih dari satu kuadriliun. “Pemerintah butuh membayarkan utang ini sampai lebih dari satu kuadriliun dan jumlah ini enggak mungkin akan ditutup dengan pajak saja sehingga pemerintah perlu strategi yang lebih agresif melalui penerbitan SBN sehingga ada indikasi bahwa penarikan dana pensiun ini yang masuk ke SBN,” ujarnya.
Masyarakat seharusnya mempertanyakan maksud pemerintah di balik adanya wacana program pensiun tambahan ini. Terlebih lagi sebelumnya sudah ada wacana pemotongan pendapatan masyarakat lewat program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Karena dari banyak model penghimpunan seperti ini, menurut Achmad, banyak yang berakhir dengan gagal bayar.
Pilihan editor: Bulog akan Lanjutkan Impor Beras untuk Dukung Program Makan Bergizi Gratis Prabowo