TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akan mengkaji wacana subsidi tiket KRL berbasis NIK. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebut segera menggelar rapat terkait skema subsidi KRL Jabodetabek berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Hal itu disampaikan Menhub Budi di Jakarta, Jumat 6 September 2024.
Sebelumnya, Budi menyebut pemberian subsidi berbasis NIK untuk KRL Commuter Line Jabodetabek pada 2025 masih bersifat wacana. "Itu belum, masih wacana," kata Budi Karya di Jakarta, Kamis 29 Agustus 2024, dikutip dari Antara.
Budi mengakui memang sedang dilakukan studi, agar semua angkutan umum bersubsidi digunakan oleh orang yang memang sepantasnya mendapatkan subsidi. Namun, kata dia, semua opsi yang ada masih bersifat wacana dan belum ada keputusan final.
Menurut Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB), Yoga Permana, kebijakan subsidi KRL berbasis NIK tersebut sangat merugikan bagi kelas menengah. Hal tersebut ia sampaikan dalam Diskusi Publik INDEF bertajuk Kelas Menengah Turun Kelas secara daring pada Senin, 9 September 2024.
Menurut Yoga, subsidi KRL berbasis NIK menjadi bantalan kelas menengah. Ia pun menyoroti kondisi keuangan dan pendapatan kelas menengah yang tidak seberapa. Dengan diterapkannya subsidi KRL tersebut, membuat kelas menengah harus berpikir keras untuk menghemat biaya transportasi.
“Jadi tarif KRL ini jadi bantalan kelas menengah. Jangan sampailah dibuat satu sistem yang ribet pakai NIK. Saya tidak setuju, yang malah mempersulit dan buat kelas menengah jadi rapuh,” kata Yoga.
Yoga pun berpendapat bahwa seharusnya pemerintah bisa meniru skema negara lain yang memperbolehkan masyarakat secara mandiri untuk mendaftar jika ingin mendapatkan subsidi. “Masyarakat registrasi sendiri, bukan dengan menggunakan NIK,” kata Yoga.
Di acara yang sama, Direktur Pengembangan Big Data Indef, Eko Listyanto, mengatakan subsidi KRL kemungkinan besar akan diikuti dengan naiknya tarif KRL. Baginya hal tersebut semakin menekan daya beli kelas menengah. “Kelas menengah bisa semakin terpuruk. Wacana subsidi berbasis NIK ini kurang tepat saat kelas menengah sedang menghadapi kesulitan,” kata Eko dalam diskusi tersebut.
Selain itu, Eko juga menyoroti bingungnya masyarakat kelas menengah akibat kebijakan pemerintah yang tidak padu satu dengan yang lain. Ia mencontohkan dengan isu naiknya subsidi KRL berbasis NIK, justru pemerintah juga mewacanakan pembatasan pembelian BBM bersubsidi.
“Ada masalah ketidaktepatan subsidi BBM, sekarang di KRL ada isu yang sama. Masyarakat mau beralih ke mana jika BBM dibatasi, publik diharapkan menggunakan transportasi umum, tetapi transportasinya juga diperketat?” ujarnya.
Eko pun mengatakan bahwa carut marutnya kebijakan yang tumpang tindih bagi kelas menengah itu akibat dari absennya koordinasi di ranah pengambil kebijakan.
Dilansir dari laman Indef, Eko pun mengungkapkan bahwa masyarakat semakin pesimis terhadap kondisi ekonomi, terlihat dari perlambatan konsumsi, penurunan PMI manufaktur, dan deflasi. Indeks ekspektasi konsumen juga turun terkait penghasilan, lapangan kerja, dan kegiatan usaha. Eko menyarankan pemerintah untuk menunda kenaikan harga barang, meningkatkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), melindungi industri padat karya, dan mengakhiri tren suku bunga tinggi guna mendorong sektor riil dan UMKM.
ANANDA RIDHO SULISTYA | ILONA ESTHERINA
Pilihan Editor: Ini Kerugian Pengguna Jika Subsidi Tiket KRL Berbasis NIK Diterapkan