TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom, yang juga Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo alias Jokowi soal pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN) terhadap perusahaan pelat merah.
Kritik itu muncul menyusul adanya Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengungkap hasil pekerjaan atas PMN pada 2015-2016 di 13 badan usaha milik negara (BUMN) belum bisa dimanfaatkan.
Adapun total nilai PMN yang digelontorkan pada kurun waktu tersebut mencapai Rp 10,49 triliun. Rinciannya adalah proyek yang belum selesai dikerjakan dengan menggunakan PMN sebesar Rp 10,07 triliun dan operasional yang belum dapat dimanfaatkan sebesar Rp 424,11 miliar.
“Strategi pemberian PMN di era Presiden Jokowi ini di satu sisi mampu mendorong pembangunan infrastruktur yang masif, namun di sisi lain harus dibayar dengan timbunan utang baru oleh BUMN Karya,” ujar Yusuf saat dihubungi pada Rabu, 21 Juni 2023.
Menurut dia, PMN menjadi dasar dari pembuatan utang baru bagi BUMN Karya untuk mengerjakan proyek strategis nasional (PSN) yang sudah menjadi strategi presiden sejak awal menjabat. Yusuf menilai hal itu sebagai operasi kuasi-fiskal, di mana resiko utang BUMN akan ditanggung oleh anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Ketika kini utang BUMN Karya ini telah menggunung, dan disaat yang sama masih terus dibebani PSN, kata Yusuf, maka PMN menjadi kebutuhan permanen bagi BUMN Karya ini. Dia mencontohkan PT Hutama Karya (Persero) yang tahun ini mendapatkan PMN senilai Rp 23,8 triliun dan tahun lalu Rp 31 triliun.
“Menurut saya hal ini tidak sehat, BUMN karya kita overleveraged, sehingga APBN menanggung resiko fiskal yang besar,” ucap dia.
Selanjutnya: Yusuf menyarankan agar ambisi pembangunan....