Yusuf menyarankan agar ambisi pembangunan infrastruktur sebaiknya diredam di masa sulit seperti sekarang ini. Ketika ruang fiskal semakin terbatas, dia berujar, sebaiknya APBN benar-benar fokus menjaga ketahanan pangan dan energi, serta menjaga daya beli rakyat dari resesi.
Lebih parah lagi, Yusuf melanjutkan, selain membuat BUMN Karya terlilit utang, PSN yang digarap juga seringkali minim tata kelola yang baik. Mulai dari mark-up nilai proyek hingga proyek fiktif. Artinya, pemberian PMN semakin buruk kualitasnya. Sudah membebani APBN dan membuat BUMN terlilit utang, kualitas infrastrukturnya pun rendah.
“Seperti terbangun dengan melewati target waktu, kualitas struktur fisik yang buruk bahkan masih belum terbangun sama sekali hingga kini,” kata Yusuf.
Dalam laporan BPK dijelaskan bahwa PMN sebagai salah satu bentuk dukungan pendanaan kepada BUMN, harus digunakan sesuai dengan peruntukkannya yang dituangkan dalam kajian bersama. Di dalam kajian bersama telah disampaikan rencana penggunaan dana tambahan PMN.
“Namun, meskipun digunakan sesuai dengan rencana penggunaan, dalam pelaksanaannya, masih ada pekerjaan yang didanai dari tambahan PMN yang masih belum dapat diselesaikan seluruhnya,” demikian bunyi laporan BPK.
BPK menyebutkan pada 2015, terdapat pencairan PMN pada 35 BUMN seluruhnya sebesar Rp 44,32 triliun dan pada 2016 terdapat pencairan PMN sebesar Rp 41,81 triliun untuk 14 BUMN. Hasil pemeriksaan terhadap dokumen penggunaan tambahan PMN, menunjukkan terdapat tambahan PMN 2015 dan 2016 yang belum terserap 100 persen.
“Pada 13 BUMN dengan nilai tambahan PMN sebesar Rp 11,67 triliun dan yang belum terealisasi sebesar Rp 3,74 triliun. Penyerapan dana tambahan PMN tersebut bervariasi antara 28,03-99,11 persen. Sedangkan progres pekerjaan fisik bervariasi antara 38,67-99,67 persen,” tulis BPK.
Selanjutnya: Sementara Wakil Menteri BUMN....