TEMPO.CO, Jakarta - Pakar ekonomi UGM, Fahmy Radhi, menilai keputusan Presiden Jokowi mengizinkan ekspor pasir laut akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekologi laut. Bahkan memicu tenggelamnya pulau yang akan membahayakan bagi rakyat di pesisir pantai.
Selain merusak lingkungan dan menyebabkan nelayan tidak dapat melaut, pemasukan yang didapat tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkannya.
“Kementerian Keuangan mengaku selama ini penerimaan negara kecil dari hasil ekspor laut, termasuk pasir laut. Sedangkan biaya yang harus dikeluarkan untuk ekspor pasir laut jauh lebih besar,” katanya seperti dikutip media resmi UGM, Kamis, 19 September 2024.
Kurang dari dua bulan sebelum mengakhiri jabatan, Presiden Joko Widodo mengeluarkan izin ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Meski berkali-kali ditegaskan oleh Presiden Jokowi, bahwa yang dikeruk adalah sedimentasi, namun banyak pengamat menilai sama saja dengan mengekspor pasir laut.
“Meski Presiden Jokowi berdalih dan mengatakan jika yang diekspor bukanlah pasir laut melainkan hasil sedimen laut, yang bentuknya sama berupa campuran tanah dan air,” ujar Fahmy Radhi.
Pengamat ekonomi dan energi UGM itu menilai, kebijakan ekspor pasir laut yang tidak seimbang dengan pendapatan yang diperoleh, disebutnya, tidak layak untuk diteruskan.
Perlu untuk diperhitungkan kerugian biaya kerugian akibat kerusakan lingkungan dan ekologi yang ditimbulkan. “Belum lagi persoalan dan potensi ancaman akan tenggelamnya sejumlah pulau yang merugikan rakyat di sekitar pesisir laut, termasuk nelayan yang tidak lagi dapat melaut,” katanya.
Fahmy menuturkan satu-satunya negara yang akan membeli pasir laut Indonesia adalah Singapura untuk reklamasi memperluas daratannya. Menurutnya, sangat ironis jika akibat pengerukan pasir laut menjadikan tenggelamnya sejumlah pulau dan mengerutkan daratan wilayah Indonesia. Sedangkan wilayah daratan Singapura akan semakin luas sebagai hasil reklamasi yang ditimbun dari pasir laut Indonesia.
“Kalau ini terjadi, tidak bisa dihindari akan mempengaruhi batas wilayah perairan antara Indonesia dan Singapura”, ucapnya.
Untuk itu, Fahmy Radhi mendesak agar pemerintah segera menghentikan ekspor sedimen laut. Meski Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan bahwa Indonesia tidak akan menjual negara dengan mengekspor pasir laut.
“Tapi faktanya ekspor pasir laut sebenarnya menjual tanah-air, yang secara normatif merepresentasikan negara. Untuk itu hentikan kebijakan ini,” kata Fahmy.
KKP: Ekspor Sedimen setelah Kebutuhan Dalam Negeri Terpenuhi
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan, hingga kini belum ada ekspor pasir hasil sedimentasi di laut.
“Ekspor belum ada kemana pun. Permintaan dari berbagai kalangan, seperti perusahaan-perusahaan yang berminat untuk menjual sedimentasi pasir ini banyak. Tapi tentu ada persyaratan dan persyaratan sangat ketat di situ,” kata Trenggono di Jakarta, Selasa, 24 September 2024.
Ia memastikan ekspor hasil sedimentasi baru bisa dilakukan jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi.
Adapun pemanfaatan pasir laut selain untuk reklamasi, juga dapat dimanfaatkan mendukung proyek pembangunan jalan tol hingga rehabilitasi pesisir dan pulau-pulau kecil yang terancam hilang.
“Kalau kita bicara lingkungan, dia (sedimentasi) sebenarnya menutupi terumbu karang, nutupi alur kapal dan lain sebagainya, kan itu jelas mengganggu. Itu salah satunya yang kita ingin selesaikan. Dan sebenarnya kuncinya adalah untuk reklamasi dalam negeri, supaya reklamasi dalam negeri ini materialnya tidak ngambil dari pulau-pulau,” katanya.
Adapun persyaratan yang dimaksud di antaranya perizinan, kapal yang digunakan beserta teknologi hingga pelaku usaha harus bisa memaparkan peruntukan hasil sedimentasi yang diambil, hal ini untuk memastikan pemanfaatan hasil sedimentasi tidak merusak lingkungan.
“Misalnya ada perusahaan yang berminat untuk mendapatkan hasil sedimentasi untuk reklamasi. Maka dia harus menunjukkan kebutuhan untuk reklamasi di mana," katanya.
Hal itu, kata dia, akan dicek apakah benar reklamasi, dan apakah wilayah yang direklamasi itu berdampak terhadap ekologi atau tidak. "Kalau berkaitan ekologi kita tidak setujui," katanya.
Pemohon juga harus punya izin dasar reklamasi berupa Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), ujarnya.
Tidak semua kapal bisa dipakai membersihkan hasil sedimentasi, sementara waktu pembersihan juga menjadi pertimbangan pemerintah dalam memperbolehkan pelaku usaha memanfaatkan hasil sedimentasi.
Selain itu, proses pembersihan akan diawasi untuk memastikan material sedimentasi yang diambil bukan berisi kandungan mineral yang menjadi ranah Kementerian ESDM.
Pengawasan ini melibatkan Tim Kajian yang terdiri tim KKP, kementerian/lembaga, perguruan tinggi, hingga pemerintah daerah.
“Terus kapalnya apa? Kapalnya harus yang kita rekomendasikan. Kenapa? untuk memastikan cara pengambilannya enggak ngawur. Itu menjadi penting juga untuk keberlanjutan dan supaya ekosistem di luar tidak rusak,” ujarnya pula.
Pengelolaan hasil sedimentasi diatur dalam Permen KP Nomor 26 tahun 2023. Dalam regulasi itu disebutkan tata kelola dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut.
UGM.AC.ID | ANTARA
Pilihan Editor Jokowi Groundbreaking Proyek IKN dari Resor Rp300 M sampai Sekolah Internasional Australia