TEMPO.CO, Jakarta - Soal ekspor pasir laut kembali memjadi perbincangan riuh di Tanah Air. Adalah Marine Sand Watch, melacak dan memantau aktivitas pengerukan pasir, tanah liat, lumpur, kerikil, dan batu di lingkungan laut dunia, termasuk titik-titik penting seperti Laut Utara, Asia Tenggara, dan Pantai Timur Amerika Serikat.
Dikembangkan oleh GRID-Geneva, sebuah Pusat Analisis di bawah Program Lingkungan PBB (UNEP), platform ini menggunakan sinyal Sistem Identifikasi Otomatis (AIS) dari kapal dan Kecerdasan Buatan (AI) untuk mengidentifikasi operasi kapal pengerukan.
Marine Sand Watch memperkirakan bahwa antara 4 hingga 8 miliar ton pasir dan sedimen lainnya dikeruk setiap tahun di lingkungan laut dan pesisir. Selain itu, data yang dianalisis untuk tahun 2012-2019 menunjukkan bahwa skala pengerukan terus meningkat.
Dunia mendekati tingkat pengisian alami sebesar 10 hingga 16 miliar ton per tahun yang dibutuhkan oleh sungai untuk mempertahankan struktur dan fungsi ekosistem pesisir dan laut. Hal ini sangat mengkhawatirkan terutama bagi daerah-daerah di mana pengerukan lebih intens dan ekstraksi telah secara substansial melampaui anggaran sedimen dari darat ke laut.
Sementara itu, Indonesia justru kembali membuka keran ekspor pasir laut setelah mendapat lampu hijau dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Larangan ekspor, yang telah berlaku selama lebih dari 20 tahun, dicabut pada tanggal 9 September setelah Menteri Perdagangan Zulkifli Hassan menyelesaikan amandemen dua peraturan perdagangan (Permendag) di bidang ekspor.
Langkah pemerintah Indonesia yang secara efektif mencabut larangan ekspor pasir, meski yang diperbolehkan untuk diekspor adalah pasir yang mengendap di laut, telah memicu banyak protes dan mendapat kecaman luas dari para pemerhati lingkungan dan beberapa politisi.
Menanggapi berbagai kritik itu, Bara Krishna Hasibuan selaku Staf Khusus Menteri Perdagangan dan Perdagangan Internasional menegaskan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah mesin utama, bukan kran ekspor pasir laut.
Mereka berpendapat bahwa tindakan tersebut dapat mengeksploitasi lingkungan dan berdampak negatif pada masyarakat. Namun Jokowi mengatakan bahwa produk yang diekspor bukan pasir laut. "Ini bukan pasir laut. Ini sedimen yang bisa diekspor," kata Jokowi, Selasa, 17 September 2024. Hal itu sejalan dengan siaran pers Kemendagri yang mengidentifikasi pasir laut sebagai salah satu jenis sedimen.
Walhi
Menyikapi hal ini, Institut Pertanian Bogor (IPB) merasa terpanggil untuk mengadakan diskusi yang bertajuk The 40th IPB Strategic Talks: Polemik Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut (PP No 26 Tahun 2023), yang ditaja oleh Direktorat Kajian Strategis dan Reputasi Akademik (DKSRA) IPB University.
Dalam diskusi itu, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Parid Ridwanudin selaku Manager Kampanye Pesisir dan Laut, menjelaskan bahwa tidak ada urgensi apa pun dalam PP Nomor 26 Tahun 2023, apalagi membuka keran ekspor pasir laut.
Menurutnya, jika aturan ini diberlakukan untuk mengatasi permasalahan sedimentasi, penanganan terbaik adalah dilakukan dari hulu hingga hilir, karena penyebab sedimentasi ada di hulu. “Akumulasi sedimen yang terjadi di laut banyak disebabkan oleh aktivitas di darat. PP ini hanya fokus pada fenomena penumpukan sedimen di hilir (laut), dan tidak memperhitungkan aktivitas di darat yang menyebabkan sedimentasi,” ungkapnya.
Ia turut mengungkapkan kekhawatirannya atas legitimasi penambangan pasir dari kebijakan ini. Jika penambangan pasir benar-benar dilakukan, maka akan banyak menimbulkan kerusakan lingkungan dan kerugian yang sangat besar. Salah satu yang terparah adalah pulau-pulau kecil di Indonesia terancam tenggelam.
Greenpeace
Sementara itu, Organisasi Greenpeace mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi di akhir masa jabatannya telah menambah “dosa ekologis” dengan membuka kembali ekspor pasir laut ini. Jokowi harusnya mundur dari jabatannya sebagai presiden sesegera mungkin.
Afdillah Chudiel, juru kampanye kelautan Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa organisasinya telah mengantisipasi pengesahan kembali ekspor pasir laut setelah pengumuman Jokowi tahun lalu. “Kami sudah memprediksi sejak awal bahwa rezim Jokowi tidak akan peduli dengan kritik dan tidak akan berpihak pada lingkungan,” ujar Afdillah seperti dikutip dari situs resmi Greenpeace.
Selain itu, banyak pihak juga menilai kurangnya transparansi mengenai penjelasan mengenai Lokasi dan kebutuhan pasir laut yang sebenarnya. Menjawab pertanyaan itu, Victor Gustaf Manopo selaku Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP memberikan penjelasannya. “Hasil penelitian lebih lanjut akan menentukan berapa jumlah pasir laut yang dibutuhkan dan potensinya di Indonesia. Hal ini juga berlaku untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi tertentu yang diizinkan untuk pemanfaatan sedimentasi,” ungkapnya.
Namun, jawaban tersebut justru membuat kontroversi baru, bagaimana mungkin pemerintah mengeluarkan kebijakan ini sebelum ada kepastian mengenai kebutuhan, potensi, dan lokasi pengerukan pasir laut secara konkret.
IPB | UNEP.ORG
Pilihan editor : Bukan Hasil Sedimentasi, Pakar Geologi Sebut Material di Paparan Sunda Murni Pasir Laut Purba