TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai target presiden terpilih Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen merupakan hal yang sulit terwujud. Menurut akademisi itu, pemerintah berikutnya sebaiknya tidak berfokus pada Produk Domestik Bruto (PDB), melainkan kualitas pertumbuhan itu sendiri.
“Jangan terlalu mendewa-dewakan pertumbuhan PDB. Tidak ada gunanya pertumbuhan ekonomi tinggi kalau tidak berkualitas,” kata Wijayanto dalam diskusi publik bertajuk “Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo: Mustahil Tumbuh 8% tanpa Industrialisasi” yang berlangsung secara daring pada Ahad, 22 September 2024.
Dalam pemaparannya, Wijayanto menjelaskan bahwa sepanjang sejarah Indonesia baru pernah mengalami pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen sebanyak lima kali. Contohnya pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, ketika harga komoditas mengalami booming atau perkembangan pesat. Saat itu, pertumbuhan ekonomi RI mencapai 6,35 persen.
Wijayanto pun mengutip ekonom Amerika Serikat Joseph E. Stiglitz, yang kerap berbicara soal bagaimana ketergantungan berlebihan pada PDB sebagai tolok ukur kinerja ekonomi dapat menyesatkan para pembuat kebijakan. Ada kekhawatiran bahwa masalah lingkungan hingga ketimpangan terjadi ketika pemerintah terlalu berfokus mengejar pertumbuhan ekonomi.
Ekonom itu lantas mencontohkan masa Indonesia di bawah penjajahan Belanda, ketika persekutuan dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) beroperasi di Tanah Air. Menyitir literatur sejarah, ia menjabarkan bagaimana kala itu, jika dividen VOC yang mencapai ratusan miliar dolar AS dibagikan kepada populasi Indonesia, maka bisa empat kali melebihi PDB per kapita sekarang.
Selanjutnya: Meski demikian, rakyat Indonesia waktu itu justru miskin dan terjajah....