TEMPO.CO, Jakarta - Bank Dunia menyebut harga beras di Indonesia tergolong tertinggi daripada negara lain di kawasan Asean. Senyampang itu, petani padi memiliki pendapatan yang lebih rendah daripada mereka yang menanam jenis hortikultura seperti buah-buahan, sayuran, dan tanaman hias.
Bank Dunia mengutip hasil Survei Pertanian Terintegrasi oleh Badan Pusat Statistik yang menunjukkan rata-rata pendapatan bersih petani kecil hanya sekitar Rp 5 juta per tahun. “Pendapatan rata-rata petani kecil kurang dari USD 1 per hari atau USD 341 per tahun. Petani mendapat keuntungan rendah daripada pertanian padi,” kata World Bank Country Director for Indonesia and Timor-Leste, Carolyn Turk, dalam sambutannya di Indonesia International Rice Conference (IRRC) di Nusa Dua, Bali, pada Kamis, 19 September 2024.
Carolyn menyebut kondisi itu lantaran kebijakan pemerintah yang membatasi impor non-tarif. Langkah pemerintah ini, Carolyn menyebut ada 95 persen impor sektor pangan yang tanpa tarif.
“Ada 95 persen impor sektor pangan diatur melalui tindakan non-tarif, termasuk pembatasan kuantitatif dan tindakan non-tarif lainnya seperti tindakan sanitasi, fitosanitasi, hambatan teknis, inspeksi pra-pengiriman, dan sebagainya,” kata dia.
Direktur Transformasi dan Hubungan Kelembagaan Perum Bulog Sonya Mamoriska saat membuka gelaran IIRC 2024 di Nusa Dua, Bali. Dalam pidatonya, Sonya menyebut acara yang akan berlangsung pada 19-21 September ini membahas isu perubahan iklim, gangguan ekonomi, ketegangan geopolitik yang berdampak pada produksi sekaligus distribusi beras.
“Ketahanan dalam konteks ini berarti lebih dari sekadar kelangsungan hidup, hal ini berarti mampu bertahan di tengah kesulitan dengan mengembangkan dan menerapkan solusi inovatif yang dapat mempertahankan produksi beras dalam menghadapi tantangan global ini,” kata Sonya.
Sonya mengatakan kegiatan ini merupakan inisiatif Perum Bulog untuk menghadirkan isu ketahanan pangan dari produksi beras di tengah tantangan global. Dia menyebut forum ini juga dalam rangka mengajak para pihak untuk berdiskusi tentang perubahan iklim yang menyebabkan sistem pangan lokal tidak stabil.
“Masalah penting saat ini, yaitu harga produksi yang dihadapkan pada berbagai masalah yang berdampak luas pada masyarakat lokal dan Sistem Pangan Global. Salah satu tantangan yang paling mendesak adalah perubahan iklim dan produktivitas,” kata Sonya.
Sonya menjelaskan saat ini perlu ada desakan untuk menyikapi produksi beras yang berketahanan dan adaptif. Dia menyebut ada ancaman terhadap metode pertanian dan distribusi tradisional.
“Kita harus menyadari bahwa metode pertanian dan distribusi tradisional mungkin tidak lagi memadai dalam menghadapi ancaman yang terus berkembang ini,” kata dia.