TEMPO.CO, Jakarta - Tupperware dan beberapa anak usahanya mengajukan permohonan kebangkrutan akibat penurunan permintaan produk dan kerugian finansial yang terus meningkat, pada Selasa, 16 September 2024. Langkah ini diambil setelah berkurangnya permintaan produk-produk Tupperware oleh pasar dan kerugian finansial yang membengkak.
Tupperware kembali menghadapi kesulitan setelah pandemi COVID-19 berakhir. Selama pandemi, bisnis Tupperware sempat mengalami peningkatan berkat bertumbuhnya usaha produksi makanan rumahan yang membutuhkan wadah makanan seperti Tupperware yang berwarna-warni. Namun, setelah pandemi, kenaikan biaya bahan baku plastik resin, tenaga kerja, dan pengangkutan menyebabkan margin keuntungan Tupperware menurun.
Lalu apa yang menjadi penyebab Tupperware mengalami kebangkrutan?
Banyak faktor yang dapat menyebabkan sebuah perusahaan bangkrut. Dalam pengumuman resmi terkait pengajuan kebangkrutannya, Tupperware menyebutkan bahwa "kondisi ekonomi makro yang menantang" sangat memengaruhi keuangan mereka. Saat perusahaan berbicara tentang "kondisi ekonomi makro", yang dimaksud adalah faktor-faktor besar yang dialami banyak perusahaan, seperti kenaikan biaya akibat inflasi, suku bunga tinggi, serta berkurangnya keinginan konsumen untuk membeli barang-barang yang dianggap tidak esensial.
1. Kurang Pasar Daring
Dilansir dari Fast Company, Tupperware menyatakan bahwa hampir 90 persen penjualannya pada 2023 masih berasal dari penjualan langsung. Angka ini cukup tinggi, terutama mengingat e-commerce sudah ada sejak tahun 1990-an. Namun, Tupperware baru mulai benar-benar memanfaatkan e-commerce pada era 2020-an. Baru pada bulan Juni 2022, Tupperware baru membuka toko di Amazon.com.
2. Utang
Menurut dokumen pengadilan, Tupperware memiliki utang besar sebesar USD 812 juta. Dikutip dari Entrepeneur, sebagian besar utang ini dibeli oleh investor yang mengkhususkan diri dalam utang bermasalah dengan harga diskon besar pada Juli. Investor seperti Stonehill dan Alden membeli sebagian besar pinjaman senior perusahaan hanya seharga 3 sen per dolar.
Dari pinjaman sebesar USD 8 juta, Tupperware hanya menerima USD 6 juta dana segar karena persyaratan yang lebih menguntungkan pemberi pinjaman, menurut catatan pengadilan. Tupperware juga mengungkapkan bahwa para pemberi pinjaman ini mencoba menggunakan posisi utang mereka untuk menyita aset penting perusahaan, termasuk kekayaan intelektualnya, yang memaksa perusahaan untuk mencari perlindungan kebangkrutan.
Dalam pengajuan kebangkrutannya di Pengadilan Kepailitan AS untuk Distrik Delaware, Tupperware mencatat asetnya berada di antara USD 500 juta hingga USD 1 miliar, sementara utangnya berkisar antara USD 1 miliar hingga USD 10 miliar. Perusahaan ini juga mencatat jumlah kreditur antara 50.001 dan 100.000. Pada tahun 2023, Tupperware menyelesaikan perjanjian restrukturisasi utang dengan pemberi pinjamannya dan bekerja sama dengan bank investasi Moelis & Co untuk membantu mencari opsi strategis yang dapat menyelamatkan perusahaan.
3. Perilaku Konsumen
Faktor lainnya yang menyebabkan Tupperware mengalami penurunan drastis adalah perubahan perilaku konsumen. Seiring dengan perkembangan zaman dan munculnya berbagai alternatif produk penyimpanan makanan yang lebih praktis dan modern, minat masyarakat terhadap produk Tupperware pun semakin menurun.
Selain itu, tren memasak di rumah yang sempat menaikkan penjualan Tupperware selama pandemi Covid-19 tidak berlanjut secara signifikan. Masyarakat mulai kembali ke gaya hidup yang lebih praktis dan sering makan di luar, sehingga mengurangi kebutuhan akan wadah penyimpanan makanan di rumah.
ELLYA SYAFRIANI | FASTCOMPANY | ENTERPRENEUR
Pilihan Editor: Profil 6 BUMN yang Terancam Bangkrut