TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Jokowi akan meninggalkan warisan utang hingga lebih dari Rp 8.000 triliun untuk presiden terpilih periode 2024-2029 Prabowo Subianto. Jumlah itu setara dengan 39,13 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Dalam buku APBN KiTa edisi Agustus 2024, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan jumlah utang pemerintah mencapai Rp 8.502,69 triliun per 31 Juli 2024. Utang itu mencakup surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 7.462,25 triliun atau sekitar 87,76 persen dan pinjaman sebesar Rp 1.040,44 triliun atau 12,24 persen.
Kemenkeu menyebut rasio utang pemerintah masih dalam ambang batas karena di bawah 60 persen dari PDB. Hal itu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Apabila dirinci, maka komponen SBN terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) Domestik sebesar Rp 5.993,44 triliun dan SBN Syariah sebesar Rp 1.196,23 triliun. Kemudian, SUN Valas di angka Rp 1.468,81 triliun dan SBN Syariah sebesar Rp 395,54 triliun.
Sementara itu, pinjaman pemerintah terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 39,95 triliun dan pinjaman luar negeri mencapai Rp 1.000,49 triliun. Pinjaman luar negeri masih dipecah lagi menjadi pinjaman dari perjanjian bilateral sebesar Rp 269,32 triliun, multilateral sekitar Rp 602,46 triliun, dan bank komersial sebesar Rp 128,71 triliun.
Warisan utang Jokowi ke Prabowo tersebut jauh lebih besar dibandingkan beban keuangan yang ditinggalkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Jokowi. Pada 2014, utang pemerintah diketahui sebesar 2.608,78 triliun atau setara 24,7 persen PDB.
Tren Utang Pemerintah di Era Jokowi
Baru setahun menjabat atau pada 2015, pemerintahan Jokowi mencatatkan utang sebesar Rp 3.113,64 triliun atau naik Rp 504,86 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara di akhir masa jabatannya di periode pertama, level utang pemerintah menembus angka Rp 4.800,25 triliun pada 2019.
Kemudian di periode kedua, utang pemerintahan Jokowi melonjak drastis hingga Rp 6.102,05 triliun pada 2020 atau sekitar 39 persen dari PDB akibat pandemi Covid-19. Lonjakan utang pun terus terjadi menjadi Rp 6.947,72 triliun pada 2021.
Berikut posisi utang pemerintahan Jokowi pada periode pertama dan kedua:
- Rp 3.113,64 triliun atau 27,46 persen dari PDB pada 2015.
- Rp 3.466,96 triliun atau 28,35 persen dari PDB pada 2016.
- Rp 3.994,8 triliun atau 29,39 persen dari PDB pada 2017.
- Rp 4.478,9 triliun atau 30,1 persen dari PDB pada 2018.
- Rp 4.800,25 triliun atau 30,23 persen dari PDB pada 2019.
- Rp 6.102,05 triliun atau 39,37 persen dari PDB pada 2020.
- Rp 6.947,72 triliun atau 40,73 persen dari PDB pada 2021.
- Rp 7.822,62 triliun atau 39,7 persen dari PDB pada 2022.
- Rp 8.163,07 triliun atau 39,21 persen dari PDB pada 2023.
Berdasarkan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 Edisi Pemutakhiran, rasio utang pemerintahan Jokowi periode 2014-2019 secara umum meningkat, tetapi dengan laju kenaikan yang disebut relatif moderat. Namun, rasio utang meningkat hingga 9,14 persen di periode kedua, tepatnya pada 2020 akibat pembiayaan program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN).
“Seiring dengan terkendalinya situasi pandemi dan perekonomian yang semakin pulih, laju kenaikan nominal utang semakin terkendali, sehingga rasio utang terhadap PDB dari 2021 sampai 2023 berada dalam tren menurun,” seperti dikutip dari dokumen KEM-PPKF tersebut.
Pilihan Editor: 4 Perusahaan Milik Bakrie Group Ditetapkan PKPU, Dituntut Bayar Utang Rp 8,79 Triliun