TEMPO.CO, Jakarta - Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan porsi masyarakat dengan ekonomi kelas menengah menurun sejak pandemi Covid-19 pada 2019 lalu. Dari jumlah 57,33 juta (21,45 persen) kelas menengah pada 2019, kini tinggal 47,85 juta (17,13 persen) pada 2024 –turun hampir 10 juta masyarakat.
Penurunan jumlah kelas menengah ini menjadi sorotan BPS. Pasalnya, kelompok masyarakat tersebut berperan penting dalam perekonomian suatu negara.
“Kelas menengah memiliki peran yang sangat krusial sebagai bantalan ekonomi suatu negara," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti saat konferensi pers, di Jakarta, Jumat, 30 Agustus 2024, seperti dikutip dari Antara.
Amalia juga membeberkan dampak proporsi jumlah penduduk kelas menengah yang turun kelas. Berikut rangkuman informasinya.
Perekonomian Kurang Tangguh Terhadap Guncangan
Amalia menjelaskan belakangan ini telah terjadi pergeseran belanja warga kelas menengah di Indonesia. Hal ini terlihat dari prioritas pengeluaran kelas menengah untuk makanan yang mengalami peningkatan. Sedangkan pengeluaran kelas menengah untuk hiburan dan kendaraan turun.
“Ada pergeseran atau shifting prioritas pengeluaran kelas menengah dalam 10 tahun terakhir,” ujar Amalia dalam rapat degan komisi XI di DPR, Rabu 28 Agustus 2024.
Menurut Amelia, mayoritas pengeluaran kelas menengah dan menuju kelas menengah menyasar kelompok makanan serta perumahan. Adapun pengeluaran untuk perumahan mencakup biaya sewa dan perabotan rumah tangga, serta tidak termasuk biaya cicilan pembelian rumah atau Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Ia mengungkapkan, saat proporsi kelas menengah relatif tipis dan mengalami penurunan, hal tersebut membuat perekonomian negara kurang resilien atau tidak tangguh terhadap guncangan.
“Kelas menengah memiliki peran yang sangat krusial sebagai bantalan ekonomi suatu negara. Ketika proporsi kelas menengah relatif tipis, perekonomian kurang resilien terhadap guncangan. Jadi, peran kelas menengah menjadi penting untuk menjaga daya tahan suatu ekonomi,” ujar Amalia.
Oleh karena itu, Amalia menyebutkan bahwa Pemerintah perlu membuat kebijakan yang memperkuat daya beli kelas menengah. Hal ini mengingat kontribusi yang tinggi dari kelas menengah terhadap perekonomian negara.
“Penguatan daya beli diperlukan tidak hanya untuk kelompok miskin, tapi juga untuk kelas menengah (middle class) dan menuju kelas menengah (aspiring middle class),” tuturnya.
Di sisi lain, peneliti makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky juga menilai adanya penurunan signifikan dari jumlah kelas menengah menjadi calon kelas menengah di Indonesia.
“Apabila kelas menengah terus turun, tentu pertumbuhan ekonomi akan turun, karena secara keseluruhan daya beli masyarakat menurun,” kata dia kepada Tempo, dikutip 31 Agustus 2024.
Sementara itu, Amelia mengatakan, Pemerintah sendiri menetapkan target masyarakat kelas menengah mencapai 80 persen pada 2045 mendatang. Peningkatan kelas ini diharapkan terealisasi secara bertahap dari tahun ke tahun.
“Jadi proporsi kelas menengah tahun 2045 juga diharapkan mencapai 80 persen. Karena kan kelas menengah ini menjadi bantalan dari perekonomian. Kalau supaya kokoh perekonomiannya maka kelas menengahnya harus tebal,” ucapnya.
Adapun kelompok kelas menengah mencakup masyarakat dengan pengeluaran berkisar Rp 2.040.262 sampai Rp 9.909.844 per kapita per bulan pada 2024. Jumlah itu ditentukan oleh standar Bank Dunia soal kelas menengah dengan perhitungan 3,5-17 kali garis kemiskinan suatu negara. Sementara itu, standar tingkat pengeluaran kelas menengah meningkat dari 2019, yakni berada pada rentang Rp 1.488.375 hingga Rp 7.229.250.
Raden Putri, Linda Lestari, Hendri Agung, Bagus Priadi, Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Ekonom Minta Pemerintahan Prabowo Tunda Kebijakan yang Bebani Kelas Menengah