Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana, menjelaskan duduk perkara penyebab industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri gulung tikar. Menurut dia, penyebab kebangkrutan yang menyebabkan PHK massal itu tak semata disebabkan oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Berdasarkan data yang pihaknya terima, sedikitnya ada 13.800 orang pekerja di industri tekstil terkena PHK. Meski mengaku belum bisa memastikan akurasi angkanya, dia membenarkan adanya fenomena ini. Gelombang PHK ini disebut disebabkan oleh adanya pelonggaran impor produk ke dalam negeri melalui Permendag tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Mantan Ketua Ombudsman itu menjelaskan, importasi barang-barang tekstil dan garmen jadi telah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Puncaknya adalah pada 2023, barang tekstil impor, baik legal maupun ilegal, menumpuk. Sisa barang-barang impor itu kemudian menjadi jenuh di pasar domestik Indonesia. Di sisi lain daya beli masyarakat relatif rendah.
“Market domestik kita jenuh dengan produk-produk impor yang sudah terjadi bertahun-tahun,” ujar dia saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat, 14 Juni 2024.
Danang mengaku kian khawatir dengan dibukanya kran impor lebih lebar melalui Permendag, Pasalnya, tekstil ilegal dan legal tahun-tahun sebelumnya saja belum berhasil diatasi. Parahnya lagi, peraturan tersebut juga disebut menghapus terkait aturan pertimbangan teknis (pertek). Akibatnya industri tekstil asing akan menjadi sangat mudah mengimpor produk-produknya ke Indonesia.
Dinukil dari Koran Tempo terbitan Sabtu, 22 Juni 2024, sejak dua tahun terakhir, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia, Redma Gita Wirawasta mencatat setidaknya sudah ada 50 perusahaan anggotanya yang gulung tikar. Sekitar 150 ribu orang terenggut pekerjaannya akibat kondisi ini. Bahkan, perusahaan yang bertahan juga tidak dalam kondisi prima.
Sejak 2022, utilitas pabrik tekstil terus turun memang terus menurun, hanya sekitar 72 persen. Kini kondisi tersebut kian parah dengan rata-rata pabrik hanya beroperasi 45 persen dari kapasitasnya. Di tengah kondisi tersebut, perusahaan harus mengatur waktu produksi. Apabila biasanya tiap hari produksi, Redma mengatakan bisa saja menjadi hanya tiga hari kerja.
“Meski tidak di-PHK, pekerja di perusahaan ini jadi tidak bekerja full dan jumlah bayarannya juga berkurang,” kata Redma kepada Tempo, Jumat, 21 Juni 2024.
Selain itu, dari sisi produksi, ongkosnya makin hari kain mahal. Menurut Redma pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat jadi sebab. Biaya belanja bahan baku menjadi lebih mahal karena sebagian besar masih impor. Padahal arus kas perusahaan sedang ketat. Pada awal tahun ini, nilai tukar rupiah masih berada di level 15.495 per dolar AS. Namun, pada penutupan perdagangan Kamis pekan lalu, kurs rupiah melemah di level 16.450 per dolar AS.
Di sisi lain, Redma mengatakan permintaan global sedang melemah. Hal ini akibat sejumlah ketegangan geopolitik, dari perang Rusia-Ukraina hingga kini Israel-Palestina. Sebagian besar negara mulai protektif. Akhirnya, pasokan tekstil dan produk tekstil melimpah. Dari sinilah masalah dumping atau praktik penjualan barang impor dengan harga murah muncul. Pasar domestik, yang menjadi satu-satunya harapan pengusaha, justru dibanjiri produk impor murah.
Redma menuturkan kondisi tersebut diperparah dengan bocornya barang impor ilegal. Dia merujuk pada data Trade Map mengenai perdagangan tekstil dan produk tekstil antara Indonesia dan Cina dengan kode HS 5063. Pada 2021, ada impor dari Cina yang tidak tercatat di Indonesia dengan nilai 2,7 miliar dolar AS. Adapun pada 2022 nilainya naik menjadi 2,9 miliar dolar AS. Diperkirakan mencapai 4 miliar dolar AS pada 2023.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | HAN REVANDA PUTRA | KORAN TEMPO
Pilihan Editor: Industri Tekstil Terpuruk, Jokowi Kumpulkan Sri Mulyani hingga Agus Gumiwang di Istana Negara