TEMPO.CO, Jakarta - Pemanfaatan pasir laut bisa menghasilkan Rp2,5 triliun per 50 juta meter kubik dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kata Direktur Penerimaan Bukan Pajak Kementerian/Lembaga Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Wawan Sunarjo.
Meskipun begitu, ia menegaskan bahwa angka tersebut masih berupa hitungan kasar dan asumsi semata, karena hingga kini pengimplementasian ekspor pasir laut masih dikaji.
“Berapa sih sebetulnya (potensi PNBP-nya) ya? Kami pun gak berani ngomong,” ucap Wawan Sunarjo di Serang, Banten, Kamis, 26 September 2024.
Angka tersebut didapatkan dari asumsi dan hitungan kasar jika terdapat 50 juta m3 pasir laut yang diekstraksi.
Dari jumlah tersebut, dimisalkan hanya 27,5 juta m3 pasir yang dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik dengan Harga Pokok Penjualan (HPP) sebesar Rp93 ribu dan tarif sebesar 30 persen, maka PNBP yang terkumpul bisa mencapai Rp767,25 miliar.
Sementara sisanya diekspor sebanyak 22,5 juta m3 pasir laut dengan HPP senilai Rp228 ribu dan tarif 35 persen, sehingga dapat menghasilkan PNBP sebesar Rp1,79 triliun. Maka, total PNBP dari 50 juta m3 pasir laut tersebut mencapai Rp2,56 triliun.
Sedangkan menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 6 Tahun 2024 tentang Harga Patokan Pasir Laut, harga patokan untuk pasir laut ekspor sebesar Rp186 ribu.
Dengan demikian, maka asumsi nilai potensi PNBP yang bisa didapatkan dari pemanfaatan pasir laut menurut keputusan menteri tersebut menjadi Rp2,23 triliun.
Mengingat peraturan mengenai ekspor pasir laut yang masih baru, Wawan pun menyampaikan bahwa belum ada target penerimaan PNBP dari pemanfaatan pasir laut pada tahun depan.
“Pasir laut itu baru ada PP (Peraturan Pemerintah)-nya, sehingga di 2025 belum ada targetnya,” ujarnya.
Ekspor pasir laut sebelumnya diberhentikan, tapi kini kembali dibuka melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Selain peraturan yang masih baru, tantangan lain dalam mengekspor pasir laut adalah diperlukannya kajian dan penelitian mendalam mengenai kandungan pasir yang diekspor.
Hal tersebut dikarenakan pemerintah hanya memperbolehkan pasir yang menjadi sedimen laut untuk diekspor.
Wawan mengatakan bahwa penelitian tersebut dibutuhkan agar produk yang diekspor benar-benar sudah dipastikan hanya berupa sedimen pasir tanpa mengandung mineral berharga, langka, atau yang dilarang untuk diekspor.
Ia menyatakan bahwa kemungkinan besar akan dibentuk tim khusus yang terdiri atas para pakar dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, maupun Kemenkeu untuk melakukan kajian mengenai ekspor pasir laut tersebut.
“Jadi, memang tidak serta merta punya konsesi, lalu angkut (pasirnya), (kemudian) diekspor -- tidak. Pasti ada tim penilaiannya,” katanya.
Rencana pemerintah kembali mengekspor pasir laut setelah 20 tahun dilarang mendapat banyak penentangan dari pegiat lingkungan karena akan merusak ekosistem laut.
Menteri Kelautan: Belum Ada Ekspor Pasir
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan, hingga kini belum ada ekspor pasir hasil sedimentasi di laut.
“Ekspor belum ada kemanapun. Permintaan dari berbagai kalangan, seperti perusahaan-perusahaan yang berminat untuk menjual sedimentasi pasir ini banyak. Tapi tentu ada persyaratan dan persyaratan sangat ketat di situ,” ungkap Menteri Trenggono di Jakarta, Selasa.
Mengenai ekspor, ia memastikan ekspor hasil sedimentasi baru bisa dilakukan jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi.
Adapun pemanfaatan pasir laut selain untuk reklamasi, juga dapat dimanfaatkan mendukung proyek pembangunan jalan tol hingga rehabilitasi pesisir dan pulau-pulau kecil yang terancam hilang.
“Kalau kita bicara lingkungan, dia (sedimentasi) sebenarnya menutupi terumbu karang, nutupi alur kapal dan lain sebagainya, kan itu jelas mengganggu. Itu salah satunya yang kita ingin selesaikan. Dan sebenarnya kuncinya adalah untuk reklamasi dalam negeri, supaya reklamasi dalam negeri ini materialnya tidak ngambil dari pulau-pulau,” pungkasnya.
Adapun persyaratan yang dimaksud diantaranya perizinan, kapal yang digunakan beserta teknologi hingga pelaku usaha harus bisa memaparkan peruntukan hasil sedimentasi yang diambil, hal ini untuk memastikan pemanfaatan hasil sedimentasi tidak merusak lingkungan.
“Misalnya ada perusahaan yang berminat untuk mendapatkan hasil sedimentasi untuk reklamasi. Maka dia harus menunjukkan kebutuhan untuk reklamasi di mana," katanya.
Hal itu, kata dia, akan dicek apakah benar reklamasi, dan apakah wilayah yang direklamasi itu berkaitan dengan ekologi atau tidak karena kalau berkaitan ekologi kita tidak setujui.
Kemudian dia harus punya izin dasar reklamasi juga, Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), ujarnya.
Untuk kapal, lanjut dia, tidak semua kapal bisa dipakai membersihkan hasil sedimentasi, sementara waktu pembersihan juga menjadi pertimbangan pihaknya dalam memperbolehkan pelaku usaha memanfaatkan hasil sedimentasi.
Selain itu, proses pembersihan akan diawasi untuk memastikan material sedimentasi yang diambil bukan berisi kandungan mineral yang menjadi ranah Kementerian ESDM.
Pengawasan ini melibatkan Tim Kajian yang terdiri tim KKP, kementerian/lembaga, perguruan tinggi, hingga pemerintah daerah.
“Terus kapalnya apa? Kapalnya harus yang kita rekomendasikan. Kenapa? untuk memastikan cara pengambilannya enggak ngawur. Itu menjadi penting juga untuk keberlanjutan dan supaya ekosistem di luar tidak rusak,” ujarnya pula.
Pengelolaan hasil sedimentasi diatur dalam Permen KP Nomor 26 tahun 2023, dalam regulasi itu disebutkan tata kelola dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut.
Kemudian untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.