TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan membeberkan strategi pemerintah untuk membayar utang jatuh tempo di awal kepemimpinan presiden terpilih Prabowo Subianto. Utang pemerintah yang jatuh tempo tahun depan mencapai Rp 800,33 triliun, tidak termasuk beban bunga utang yang harus dibayar.
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan dalam Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko DJPPR) Kemenkeu Riko Amir mengatakan pemerintah masih mempunyai kemampuan untuk membayar defisit plus utang jatuh tempo.
“Setiap utang jatuh tempo itu harus dibayar. Jadi, sampai saat ini kita tidak membuat semacam negosiasi bahwa kita akan mencicil lagi,” kata Riko di acara taklimat media Kementerian Keuangan 2024 yang diadakan di Serang, Banten pada Kamis, 26 September 2024.
Cara membayar utang itu, menurut Riko, adalah dengan prinsip refinancing, yang berarti pendanaan kembali. Refinancing adalah metode pelunasan utang dengan mengambil pinjaman baru untuk membayar pinjaman yang sudah ada. Pinjaman baru tersebut memiliki ketentuan berbeda seperti bunga lebih rendah, jangka waktu lebih lama atau struktur pembayaran yang berbeda.
“Kita masih punya kemampuan untuk membayar defisit plus utang jatuh tempo tadi, dengan tetap prinsip refinancing,” ujar Riko.
Strategi refinancing dilakukan dengan mengeluarkan penerbitan obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN). Sebab, agar para investor mau berinvestasi kembali, mereka harus melihat peringkat kredit Indonesia.
Berdasarkan penjelasannya, yang dilihat oleh para investor adalah kemampuan negara. “Refleksinya adalah kredit-kredit yang investment grade, yang menyatakan fondasi ekonomi kita cukup baik untuk membuat kita masih melakukan refinancing terhadai utang jatuh tempo tersebut,” kata dia.
Adapun, pemerintah berencana menerbitkan utang baru melalui SBN sebesar Rp 642,56 triliun tahun depan, seperti tercantum dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Jumlah tersebut naik 42,2 persen dibandingkan dengan outlook APBN 2024 sebesar Rp 451,85 triliun.
Pilihan Editor: Bahlil Pertemukan Arsjad Rasjid dan Anindya Bakrie: Kadin Satu, Tidak Boleh Dua