TEMPO.CO, Jakarta - Utang pemerintah tercatat mencapai Rp 8.041 triliun per November 2023. Bagaimana perkiraan realisasi utang pada 2024?
"Tahun 2024 proyeksinya bisa tembus 8.600 triliun, menghitung besaran utang jatuh tempo dan beban bunga utang yang sebagian akan dibayar dengan penerbitan utang baru," kata Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, kepada Tempo, Rabu, 3 Januari 2024.
Menurut Bhima, pemerintah tampak nyaman dengan porsi 90 persen utang berbentuk surat berharga negara (SBN) dengan bunga relatif tinggi di pasar. Padahal, ujarnya, beban bunga utang yang meningkat akan menyebabkan penyempitan ruang fiskal.
Ia melanjutkan, tidak semua utang digunakan untuk belanja produktif. "Pembayaran bunga dan pokok utang jatuh tempo lewat penerbitan utang baru membuktikan bahwa utang digunakan juga untuk hal yang sifatnya non produktif," tutur Bhima.
Ekonom dari Center of Reform on Economics atau CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan pemerintah pada nota keuangan menargetkan pembiayaan utang sebesar Rp 600 triliun sepanjang 2024.
"Sehingga atas dasar itu, sebenarnya total utang pemerintah di 2024 mencapai Rp 8.500 triliun itu bisa terjadi," tutur Yusuf pada Tempo.
Namun, ujarnya, angka tersebut tergantung kinerja dari penerimaan negara. Sehingga ketika penerimaan negara bagus, pemerintah tidak perlu menarik utang yang lebih besar untuk kebutuhan anggaran pada 2024.
Sebelumnya diberitakan, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Suminto, buka suara soal utang pemerintah yang tembus Rp 8.041 triliun per November 2023.
"Namun, tentu kita tidak sekedar melihat nominalnya," kata Suminto, dalam konferensi pers di Jakarta Pusat pada Selasa, 2 Januari 2024.
Ia menjelaskan, berbagai indikator portofolio utang justru menunjukkan kinerja utang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Suminto mencontohkan, rasio utang terhadap produk domestik bruto alias debt to GDP ratio mengalami perbaikan signifikan.
Adapun rasio utang terhadap PDB per akhir November tercatat 38,11 persen. Angka tersebut turun dari posisi Desember 2022 yang sebesar 39,7 persen.
Sedangkan dari sisi indikator risiko mata uang alias currency risk, proporsi utang Indonesia dalam valuta asing (valas) juga terus menurun. Suminto mencatat, pada 2019 sebelum pandemi, outstanding utang pemerintah RI dalam mata uang valas berada di 37,9 persen.
Pada 2018, outstanding utang dalam bentuk valas mencapai 41 persen. Sementara pada November 2023, utang pemerintah dalam bentuk valas adalah 27,5 persen. "Sehingga dari sisi currency risk lebih baik," tutur Suminto.
Dari sisi refinancing risk, ia menuturkan, average time to maturity alias rata-rata tenor dari utang pemerintah juga cukup panjang yaitu sekitar 8,1 tahun. Adapun dari sisi market risk lain, risiko suku bunga dari mayoritas utang pemerintah sekitar 82 persen dengan fix rate atau bunga tetap.
Sehingga, kata dia, tidak terlalu sensitif terhadap gerakan suku bunga yang ada di pasar. "Demikian juga kalau direfleksikan pada indikator risiko utang yang lain, misal dari sustainibilitas utang," kata dia.
Pilihan Editor: Sri Mulyani Pastikan Gaji PNS Naik 2024: Jangan Khawatir, Tetap Dibayar Komplet 12 Bulan