TEMPO.CO, Jakarta - Jembatan lengkung bentang panjang atau longspan di lintasan light rail transit atau LRT Jabodebek yang berada di persimpangan Jalan HR Rasuna Said dan Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, belakangan ini jadi sorotan. Longspan LRT Jabodebek disebut salah desain lantaran memiliki kemiringan tajam.
Kritik soal longspan LRT yang disebut salah desain itu pertama kali dilontarkan oleh oleh Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo. Dia menyebut jembatan tersebut salah desain karena tidak dites sudut kemiringannya sehingga ketika kereta melintas tidak bisa melaju dengan kecepatan tinggi.
Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo, menyatakan bahwa kesalahan desain pada longspan LRT Jabodebek mengakibatkan adanya tikungan tajam yang berdampak pada melambatnya kecepatan kereta. Menurutnya, jika tikungan jembatan itu digarap melebar, maka kereta LRT Jabodebek bisa tetap melaju dengan kencang.
Harus lebih spesifik soal salah desain
Guru besar transportasi dari Universitas Indonesia (UI) Sutanto Soehodho mengatakan, untuk menyebut LRT Jabodebek salah desain harus lebih spesifik apakah terkait infrastruktur, rolling stock atau sistem komunikasi dan persinyalan. Sebagai informasi, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo sebelumnya menyebut longspan LRT Jabodebek yang terletak di Kuningan, Jakarta Selatan tersebut salah desain.
"Untuk infrastruktur pada flyover Kuningan Gatot Subroto, memang secara teknik cukup rumit membangun infrastruktur yang optimal," kata Sutanto pada Tempo, Jumat, 4 Agustus 2023.
Dia menjelaskan, lengkung flyover LRT tersebut memiliki kerumitan dan kendala, yakni dalam membangun dan meletakan pilar dan pondasi di bawah bangunan. Sedangkan pada lokasi tersebut sudah ada flyover jalan tol dan non-tol, bahkan underpass non-tol di bawahnya.
"Hal ini memaksa flyover LRT yang harus menggunakan longspan dengan radius cukup tajam, serta gradien yang cukup besar," beber Sutanto. "Sehingga kereta pada ruas tersebut harus menurunkan kecepatan pada level aman, dan tentu pada kecepatan yang dianggap rendah dari harapan kecepatan kereta pada alinyemen atau trase operasinya."
Lebih jauh, dia menjelaskan kereta LRT tidak hanya membutuhkan rel untuk beroperasi, tetapi juga sistem informasi dan komunikasi terkait teknologi otomasi yang sudah ditetapkan.
Menurut Sutanto, hal ini tidak terbatas pada hardware seperti perangkat persinyalan, pengatur kecepatan, stop pada stasiun dan berbagai sinyal keselamatan kendaraan, tapi juga software pendukung.
"Dengan kata lain, di samping urusan gerbong kereta harus ada desain yang baik dan benar untuk kompatibilitasnya," ujar Sutanto.