Sri Mulyani pun mengatakan saat ini perekonomian nasional Indonesia masih di dalam tren pemulihan positif yang tumbuh cukup kuat di atas 5 persen. Pertumbuhan itu dicapai selama 5 triwulan berturut-turut, bahkan pada triwulan ketiga mencapai 5,72 persen year-on-year.
Inflasi di Indonesia juga relatif moderat dibandingkan negara-negara lain di dunia yaitu pada level 5,71 persen pada Oktober 2022, turun dari 5,99 persen pada September 2022. Di sisi lain dari sisi neraca perdagangan terjadi surplus selama 30 bulan berturut-turut dan indeks PMI tetap menunjukkan ekspansif dalam 14 bulan terakhir.
“Dengan capaian ini memang APBN pekerja luar biasa keras. Namun kita tetap mencermati bahwa terjadi perkembangan global yang harus Kita waspadai,” tutur dia.
Oleh sebab itu, menurut Sri Mulyani, optimisme untuk pemulihan ekonomi harus terus dijaga. Namun pada saat yang sama, tiap pihak harus makin waspada terhadap risiko global yang berasal dari geopolitik.
Dia mencontohkan, penerapan zero-covid policy di Cina telah menyebabkan perlambatan ekonomi. Termasuk dampak pengetatan kebijakan moneter di negara-negara maju di dalam rangka mengendalikan inflasi juga akan berakibat pada perlemahan ekonomi global.
Sri Mulyani juga mengatakan, kenaikan suku bunga global akan meningkatkan biaya pendanaan dan memicu aliran modal keluar dari negara-negara berkembang dan emerging market. Serta menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar dari negara-negara berkembang.
“Risiko ekonomi yang telah berubah dari tadinya ancaman pandemi sekarang menjadi ancaman finansial yang membutuhkan respons berbeda dan kewaspadaan yang tinggi,” ujar Sri Mulyani.
Baca juga: Jokowi Serahkan DIPA dan TKDD 2023 ke 53 Kementerian dan Lembaga
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.