TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah melarang penjualan produk tembakau atau rokok eceran. Larangan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang merupakan aturan turunan dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Presiden Joko Widodo telah menandatangani PP ini pada 26 Juli 2024, dan salinannya tersedia di situs JDIH Kementerian Sekretariat Negara sejak 29 Juli 2024.
Dalam Pasal 434 PP Kesehatan, disebutkan bahwa "Setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik secara eceran per batang," kecuali untuk cerutu dan rokok elektronik. Selain itu, peraturan ini juga membatasi lokasi penjualan produk tembakau dan rokok elektronik, termasuk melarang penjual menempatkan produk tersebut di sekitar pintu masuk dan keluar atau di area yang sering dilalui.
Pembatasan lain dalam PP ini mencakup larangan penjualan kepada orang di bawah usia 21 tahun dan ibu hamil, serta di area sekitar satuan pendidikan atau tempat bermain anak dengan radius 200 meter. Penjualan melalui situs web atau aplikasi komersial juga dilarang, kecuali terdapat verifikasi umur.
PP Kesehatan yang memiliki 1.127 pasal ini menggantikan 26 Peraturan Pemerintah dan 5 Peraturan Presiden yang berlaku sebelumnya.
Aturan pembatasan rokok dalam PP Kesehatan ini telah menjadi perbincangan hangat. Meskipun bertujuan menekan prevalensi merokok dan meningkatkan kesehatan masyarakat, banyak pengusaha yang menentang keras aturan tersebut. Apa yang sebenarnya menjadi alasan penolakan dari kalangan pengusaha? Berikut beberapa faktor yang sering mereka ungkapkan:
1. Berpotensi Menimbulkan PHK Massal
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM – SPSI), Sudarto AS, menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran.
Menurut Sudarto, industri hasil tembakau (IHT) saat ini mampu menyerap lebih dari 6 juta pekerja, sehingga regulasi yang mengancam keberlangsungan industri ini akan berdampak signifikan pada kehidupan jutaan orang.
“Ada sekitar 6 juta pekerja yang hidup dari industri hasil tembakau. Anggaplah dari 6 juta itu, masing-masing memiliki 2 anak, maka sudah 24 juta orang yang bergantung pada sektor ini,” ujarnya dalam konferensi pers mengenai PP 28/2024 dan RPMK yang digelar pada Rabu, 11 September 2024.
Sudarto juga menegaskan bahwa meskipun peraturan ini berfokus pada distribusi produk tembakau, dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh pelaku usaha, tetapi juga meluas ke pekerja hingga petani tembakau. "Memang aturan dalam PP Kesehatan ini menyasar pada hilir. Namun, kalau penjualan turun, industri akan turun, tenaga kerja juga akan turun," lanjutnya.Dengan demikian, regulasi ini dikhawatirkan tidak hanya akan merugikan pengusaha, tetapi juga berdampak besar terhadap stabilitas ekonomi pekerja di sektor tembakau.
“Kami tidak anti dengan regulasi, tapi regulasi juga tidak boleh mengganggu kepastian pekerjaan dan kepastian berpenghasilan karena itu bagian dari hak pekerja sebagai warga negara yang harus dilindungi”, tutup Sudarto.
2. Dampak Destruktif pada Industri Hasil Tembakau
Sejalan dengan pernyataan Sudarto, Franky Sibarani, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), juga menyuarakan keberatannya terhadap pengesahan PP Kesehatan ini. Menurut Franky, regulasi tersebut bisa menimbulkan dampak yang lebih besar dibandingkan saat pandemi Covid-19. "Kalau pas Covid-19 pendapatan kita turun, tapi di berbagai perusahaan mungkin masih bisa mengatur shift-nya, atau mengatur dengan bekerja dari rumah. Pendapatan memang berkurang, ada juga PHK, tapi kalau ini tidak. Industrinya yang dihentikan," keluhnya.
Dalam konferensi tersebut, Apindo bersama 20 asosiasi lintas sektor lainnya menolak beberapa pasal dalam PP Kesehatan dan RPMK, yang dianggap berpotensi menghancurkan industri tembakau. Beberapa ketentuan yang ditolak termasuk penerapan standar kemasan polos yang menghilangkan identitas merek tembakau, pemberlakuan batas tar dan nikotin, serta larangan penjualan dalam radius tertentu.
3. Mengancam Keberlangsungan Usaha Pedagang Pasar
Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (Aparsi) menyampaikan alasan penolakannya terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 mengenai Kesehatan. Sejumlah pasal yang melarang penjualan produk tembakau dalam peraturan tersebut dianggap mengancam keberlangsungan usaha para pedagang pasar.
Ketua Umum Aparsi, Suhendro, dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat, menjelaskan bahwa penerapan PP Kesehatan ini berpotensi membahayakan kelangsungan hidup 9 juta pedagang di pasar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah larangan menjual rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain, serta larangan menjual rokok secara eceran. Menurutnya, aturan tersebut masih sangat rancu untuk diterapkan.
"Kami menolak keras dua larangan ini karena beberapa faktor. Salah satunya, banyak pasar yang berdekatan dengan sekolah, institusi pendidikan, atau fasilitas bermain anak. Peraturan ini juga dapat menurunkan omzet pedagang pasar yang banyak bergantung pada penjualan produk tembakau. Hal ini akan menimbulkan permasalahan baru bagi kami sebagai pelaku usaha," ujarnya.
Suhendro menambahkan bahwa larangan terhadap produk tembakau dalam PP Kesehatan ini dapat menekan pertumbuhan ekonomi pedagang pasar yang baru mulai pulih setelah terdampak pandemi. "Jika aturan ini diberlakukan, kami telah menghitung penurunan omzet usaha sebesar 20-30 persen, bahkan sampai pada ancaman penutupan usaha, karena komoditas ini merupakan penyumbang terbesar bagi teman-teman pedagang pasar," tuturnya.
SHARISYA KUSUMA RAHMANDA | OYUK IVANI S SULTAN ABDURRAHMAN ANTARA
Pilihan Editor: Di Balik Turunnya Prevalensi Perokok Anak