TEMPO.CO, Jakarta - Executive Director Celios Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan ekspor pasir laut menunjukkan kunonya perspektif ekonomi yang dimiliki pemerintah. Menurutnya, eksploitasi komoditas mentah untuk mendorong ekonomi adalah pandangan yang sudah ketinggalan zaman.
“Ini akan membuat Indonesia terjebak pada penjualan komoditas mentah yang tidak ada nilai tambahnya,” ujar Bhima ketika diwawancarai via telepon WhatsApp Jum’at, 13 September 2024.
Menurut Bhima, ekspor pasir laut adalah langkah mundur Indonesia dalam memitigasi perubahan iklim. Ia menjelaskan, ekspor pasir laut akan membuat Indonesia kehilangan potensi ekonomi pariwisata berkelanjutan yang tidak hanya dapat menghidupi pemerintah daerah, tetapi juga masyarakat sekitar. “Bagi masyarakat lokal, kegiatan ini bisa mengganggu jalur nelayan untuk mencari ikan atau sumber daya lain di sekitar pesisir karena pasirnya dikeruk,” ucap Bhima.
Bhima juga menyoroti tingginya potensi kerusakan ekosistem lingkungan di wilayah pesisir akibat kegiatan ekspor pasir laut. Kegiatan ini kemungkinan besar bakal membuat generasi yang akan datang kehilangan sumber daya alam.
Sehingga menurutnya, kerugian ini tidak sebanding dengan keuntungan yang akan diterima pemerintah pusat maupun daerah yang sifatnya hanya jangka pendek. “Padahal yang seharusnya dilakukan sekarang adalah mencari pendapatan dengan konservasi lingkungan, bukan menjual pasirnya,” tutur Bhima.
Keputusan membuka kembali keran ekspor pasir laut sudah diteken Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan lewat dua revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) di bidang ekspor.
Dua kebijakan yang direvisi itu adalah Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Pilihan editor: Lima Tahun Dampingi Jokowi, Ma'ruf Amin: Sangat Gembira Lah