TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Jokowi mengatakan, perkembangan pesat dunia digital telah membawa kemudahan dalam memperoleh informasi, di mana setiap orang kini bisa bertindak bak wartawan yang melaporkan informasi. Di sisi lain, hal itu menyebabkan media konvensional mulai terdesak.
“Di era digital sekarang ini masyarakat kita sangat mudah memperoleh informasi. Media konvensional yang beredaksi mulai terdesak. Yang dominan adalah media sosial, media online dan semua orang bisa menjadi wartawan. Citizen journalism tanpa ada dewan redaksi,” kata Jokowi dalam pembukaan Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) Tingkat Nasional XXX, di Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu malam, 8 Septe,ber 2024.
Oleh karena itu, kata dia, setiap pembaca berita media sosial harus mampu menjadi redaksi bagi dirinya sendiri, serta harus mampu menyaring mana berita yang baik dan tidak baik.
“Harus cek dan ricek mana yang benar dan mana yang hoaks atau berita bohong,” tuturnya.
Dia mengatakan, untuk bisa menyaring informasi dengan baik masyarakat membutuhkan pegangan moral yang kuat yaitu agama.
“Di sinilah pentingnya MTQ dan melalui MTQ ini tidak hanya menampilkan kemampuan dan keindahan membaca Alquran, tapi juga momentum untuk mengagungkan Alquran, membumikan ajaran-ajaran Alquran, memperkuat moral dan spiritual bangsa dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara,” katanya.
Presiden pada kesempatan itu juga menyampaikan bahwa 48 tahun yang lalu MTQ Nasional pernah diselenggarakan di Kota Samarinda. Dia menilai penyelenggaraan MTQ kali ini jauh lebih baik.
Jokowi memperoleh laporan bahwa banyak inovasi telah dilakukan pada penyelenggaraan MTQ kali ini antara lain penggunaan teknologi digital seperti aplikasi e-MTQ, e-maqra, dan e-scoring.
“Dan saya sangat mengharapkan bukan hanya penyelenggaraan MTQ-nya yang lebih baik, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran seperti kejujuran, keadilan, perdamaian dan persatuan semakin kokoh dilaksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari,” katanya.
Bisnis Media
Penurun bisnis media terasa di media cetak. Berdasarkan data Serikat Perusahaan Pers (SPS), masih ada 593 media cetak yang terdaftar pada 2021, tetapi tersisa 399 media pada 2022. Jumlahnya terus turun dan beberapa media semakin banyak yang beralih ke media online murni dan menutup edisi cetaknya karena semakin mahalnya harga kertas, cetak dan kalah dalam hal kecepatan dengan edisi online.
Media online juga menghadapi masalah dengan platform digital raksasa, seperti mesin pencari, yang mendapat keuntungan dari berita media karena banyak orang masuk ke mesin pencari untuk membaca berita.
Masalah Publisher Rights tersebut disinggung oleh Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari 2023.
Publisher Rights adalah regulasi yang mengatur agar platform digital global seperti Google, Instagram, Facebook, dan lainnya memberikan timbal balik yang seimbang atas konten berita yang diproduksi media lokal dan nasional.
Presiden Jokowi kemudian mengeluarkan Perpres No 32/ 2024 tentang publisher right atau Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas, yang mengatur tanggung jawab Perusahaan Platform Digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas agar Berita yang merupakan karya jurnalistik dihormati dan dihargai kepemilikannya secara adil dan transparan.
Dewan Pers kemudian membentuk Komite Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk mendukung Jurnalisme Berkualitas atau dikenal dengan sebutan Publisher Rights. Dewan Pers telah melakukan sidang pleno untuk memilih anggota tim tersebut hingga pada Senin 19 Agustus 2024 terpilih 11 nama.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengungkapkan bahwa penetapan anggota Publisher Rights berdasar komitmen untuk memastikan bahwa perusahaan platform digital berperan secara adil dan bertanggung jawab dalam ekosistem media di Indonesia.
“Kita berharap dengan terbentuknya Komite ini, jurnalisme berkualitas dapat lebih terlindungi sementara hak-hak jurnalis dan media tetap terjaga,” kata Ninik
ANTARA | TIARA JUWITA
Pilihan Editor Sri Mulyani dan DPR Beda Pendapat Soal Dana Pendidikan dari Pendapatan atau Belanja APBN, Ini Penjelasannya