TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi buka suara menanggapi vonis Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terhadap dua perusahaan farmasi yang terbukti bersalah dalam kasus obat sirop pemicu gagal ginjal akut.
Dalam putusan pengadilan tingkat pertama itu, tiap perusahaan farmasi yakni PT Afi Farma dan CV Samudera Chemical wajib membayar ganti rugi hingga Rp 60 juta kepada keluarga korban obat sirop berbahaya tersebut.
Menurut Tulus, seharusnya ada sanksi administratif yang dikenakan kepada kedua perusahaan itu. “Harusnya ada sanksi administratif, yakni sanksi pencabutan izin operasi bagi perusahaan tersebut,” katanya ketika dihubungi Tempo, Selasa, 27 Agustus 2024.
Lebih jauh, Tulus menilai dalam kasus ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kecolongan karena peredaran obat sirop itu telah menewaskan lebih dari 200 anak akibat gagal ginjal akut progresif afitikal pada 2022 lalu. Hal tersebut membuktikan pengawasan pascapasar oleh BPOM masih lemah.
“BPOM kecolongan dan berdampak fatal,” kata Tulus.
Oleh sebab itu, kata Tulus, perlu ada kajian ulang total dari tugas BPOM dalam hal pengawasan pascapasar. Bahkan, review total itu seharusnya juga mendorong BPOM mengawasi sejak sebelum produk masuk ke pasar (pengawasan prapasar).
Dalam putusannya, PN Jakarta Pusat memerintahkan PT Afi Farma dan CV Samudera Chemical untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 50 juta kepada keluarga dari anak yang meninggal dunia. Ada 24 nama orang tua korban yang tercatat sebagai penggugat dalam putusan itu.
Sedangkan ganti rugi sebesar Rp 60 juta wajib dibayarkan kedua perusahaan itu untuk anak yang telah sembuh atau menjalani proses pengobatan dan rehabilitasi medis akibat gagal ginjal akut. Ganti rugi kepada keluarga korban harus dibayar kedua perusahaan itu dengan seketika dan sekaligus.
Jika perlu, pembayaran dilakukan secara natura atau dalam bentuk barang atau dibagi dengan uang dari hasil penjualan barang tersebut. Selain itu, PT Afi Farma dan CV Samudera Chemical harus membayar biaya perkara sejumlah Rp 6.210.000.
Sebelumnya, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito sebelumnya pernah mengungkap produk Paracetamol yang diproduksi PT Afi Pharma tercemar senyawa perusak ginjal. Temuan itu didapat BPOM berdasarkan hasil uji sampling terhadap 102 daftar produk obat sirop yang sebelumnya disampaikan oleh Kementerian Kesehatan.
Adapun bahan cemaran perusak ginjal yang dimaksud adalah Propilen Glikol melebihi ambang batas keamanan sehingga memicu pencemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) pada produk. Dia mengatakan BPOM telah menyelesaikan pengujian terhadap seluruh daftar produk obat sirop yang dilaporkan Kemenkes.
BPOM saat itu juga mencabut sertifikat CPOB untuk fasilitas produksi dua industri farmasi yang memproduksi obat sirop yang mengandung bahan berhaya Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG). Sertifikat CPOB adalah dokumen bukti sah bahwa industri farmasi telah memenuhi persyaratan dalam membuat satu jenis obat.
Penny menjelaskan, pencabutan itu dilakukan sesuai BPOM bersama Bareskrim Polri melakukan operasi bersama sehak Senin 24 Oktober 2022. Dua industri tersebut adalah PT Yarindo Farmatama yang beralamat di Jalan Modern Industri, Cikande, Serang, Banten; dan PT Universal Pharmaceutical Industry yang beralamat di Tanjung Mulia, Medan, Sumatera Utara.
“Dua industri farmasi itu diduga menggunakan pelarut propilen glikol yang mengandung EG dan DEG di atas ambang batas,” ujar Penny dalam konferensi pers virtual pada Senin, 31 Oktober 2022.
Pilihan Editor: Kasus Obat Sirup Beracun, 2 Perusahaan Farmasi Divonis Ganti Rugi hingga Rp60 Juta kepada Keluarga Korban