TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Eliza Mardian menyebut penghapusan domestic market obligation (DMO) hanya akan menguntungkan produsen. Musababnya, mereka jadi memiliki kebebasan lebih dalam menentukan alokasi produksi antara pasar domestik dan ekspor.
“Ini juga ada potensi peningkatan keuntungan kalau harga ekspor lebih tinggi,” kata Eliza saat dihubungi Tempo, Selasa, 20 Agustus 2024.
Namun bagi para pedagang kecil, Eliza mengatakan justru akan terkena dampak negatif. Dia menyebut penjual minyak goreng curah di pasar tradisional berpotensi kehilangan sebagian pendapatan mereka karena sulit memperoleh minyak goreng curah.
“Penghapusan DMO dan 'terpaksa' beralih ke MinyaKita merupakan perubahan signifikan dalam kebijakan minyak goreng yang memiliki dampak luas,” kata Eliza.
Dari persepsi konsumen, kebijakan ini juga berpotensi merugikan. Eliza mengakui masyarakat dapat kualitas minyak goreng yang bagus karena ada standardisasi dari MinyaKita. Namun, kata dia, ada risiko besar terhadap daya beli masyarakat yang saat ini dalam alarm lampu kuning.
Eliza mengatakan, pemerintah perlu memantau implementasi kebijakan ini secara ketat dan menyiapkan langkah-langkah mitigasi untuk mengatasi potensi dampak negatif. Dampak itu terutama bagi konsumen berpenghasilan rendah dan pelaku usaha kecil dalam rantai pasokan minyak goreng.
“Sejauh ini kebijakan pemerintah cenderung keberpihakannya ke produsen,” kata Eliza.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan alias Zulhas resmi menerbitkan aturan baru soal skema DMO minyak goreng rakyat. Lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2024, pemerintah menghapus peredaran minyak goreng curah dan meminta masyarakat beralih ke minyak goreng kemasan atau MinyaKita.
Zulhas juga resmi menetapkan kenaikan harga eceran tertinggi (HET) MinyaKita dari Rp 14.000 menjadi Rp 15.700. Dia mengklaim, kenaikan HET MinyaKita telah mempertimbangkan perkembangkan harga bahan baku dan keberterimaan masyarakat.
Dia juga mengklaim telah mempertimbangkan keseimbangan antara kemampuan produsen minyak goreng dan daya beli masyarakat. "Kami sudah melakukan kajian,” kata Zulhas dalam keterangan tertulis yang dikutip Senin, 19 Agustus 2024.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Moga Simatupang mengatakan, kenaikan harga MinyaKita dipengaruhi penurunan permintaan dunia terhadap minyak sawit mentah (CPO).
Karena permintaan dunia turun, Moga menjelaskan hak ekspor yang diterbitkan pemerintah bagi para pelaku usaha menjadi berkurang. "Tidak ada lagi pengajuan untuk hak ekspor dari pelaku usaha,” kata Moga di Kantor Kemendag, Jakarta Pusat, Senin, 19 Agustus 2024.
Untuk menstimulasi para pelaku usaha agar dapat mengalihkan pasar CPO dan minyak gorengnya dari luar negeri ke dalam negeri, Moga mengatakan pemerintah memutuskan menaikkan HET MinyaKita. “Itulah tujuan utama dilakukan kenaikan HET ini sehingga kebutuhan pasokan dapat terjangkau di masyarakat,” kata Moga.
Permendag Nomor 18 Tahun 2024 merupakan penyempurnaan dari regulasi minyak goreng sebelumnya yaitu Permendag Nomor 49 Tahun 2022. Selain perubahan pengaturan bentuk DMO menjadi hanya MinyaKita, pemerintah menambahkan ukuran kemasan 500 mililiter—melengkapi ukuran 1 liter, 2 liter, dan 5 liter yang sebelumnya telah beredar di masyarakat.
Pilihan Editor: Ekonom Indef: Warisan Utang Jokowi akan Menyulitkan Pemerintahan Prabowo