TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan sebenarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih bisa menutupi pembiayaan pendidikan di perguruan tinggi. Untuk mensubsidi uang kuliah tunggal (UKT) terhadap 3,38 juta mahasiswa, pemerintah hanya perlu mengalokasikan anggaran sebesar Rp 46 hingga Rp 50 triliun per tahun pada 2025 mendatang.
"Perhitungan itu sudah disesuaikan dengan inflasi indeks harga produsen di sektor pendidikan," kata Bhima. Dia menyebut alokasi tersebut setara 22,4 persen alokasi belanja fungsi pendidikan yang sebesar Rp 220,8 triliun di APBN tahun anggaran 2025.
Bhima menyatakan besaran alokasi anggaran UKT gratis itu diambil dari asumsi rata-rata total UKT per tahun sebesar Rp 12,7 juta per orang di perguruan tinggi negeri. Rata-rata jumlah uang kuliah itu, kata Bhima, merupakan angka yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rentang 2018-2021, yang melibatkan 75 ribu sampel rumah tangga.
"Masalah utama dari beban biaya kuliah, ya, sebenarnya berasal dari abainya politik anggaran pemerintah dalam memprioritaskan pendidikan sebagai modal untuk melakukan reformasi struktural ekonomi yang berkualitas," kata Bhima melalui keterangan tertulis, Kamis, 15 Agustus 2024.
Bhima mengatakan pemerintah bisa saja mengurangi pos anggaran yang kurang efektif untuk dialihkan untuk subsidi uang kuliah. Misalnya dengan efisiensi birokrasi dengan pemanfaatan teknologi digital. Pada 2024 anggaran belanja birokrasi mencapai Rp 890 triliun. "Ini empat kali lipat dari belanja fungsi pendidikan," ujarnya.
Selain itu, Bhima mengatakan pemerintah juga bisa memangkas alokasi anggaran untuk belanja infrastruktur. Dia mengatakan pada tahun 2025, pemerintah akan membelanjakan Rp 422,7 triliun dan diperkirakan terus meningkat. "Anggaran infrastruktur yang tidak berdampak positif bisa dialihkan ke investasi pendidikan yang lebih mendesak. Proyek yang masih dalam tahap studi kelayakan bisa dibatalkan," kata Bhima.
Yang tak kalah penting, ujar Bhima, yakni dengan menyederhanakan kementerian dan lembaga. "Hasil penggabungan dan penghilangan nomenklatur akan menjadi ruang fiskal yang lebih baik untuk mengurangi beban operasional PTN se-Indonesia," kata dia.
Pilihan editor: Ekspor CPO Anjlok 39,22 Persen, BPS: Karena Penurunan Permintaan