TEMPO.CO, Jakarta - Kasus tewasnya seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang menarik perhatian. Polisi menyelidiki kematian ini karena ada dugaan akibat bunuh diri dan perundungan.
"Kita selidiki dulu, karena ada informasi yang bersangkutan sakit," kata Kasat Reskrim Polrestabes Semarang Kompol Andika Dharma Sena di Semarang, Rabu, 14 Agustus 2024.
AR ditemukan tewas di kamar kosnya di Jalan Lempongsari, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin lalu, 12 Agustus 2024. Kamar indekos dalam kondisi terkunci saat korban ditemukan.
Menurut Kantor Berita Antara, dari informasi yang dihimpun, korban meninggal dunia akibat suntikan obat ke tubuhnya. Disebutkan juga korban diduga mengakhiri hidup akibat menjadi korban perundungan saat menjalani pendidikan.
Terkait dengan kabar itu, Kasat Reskrim Andika Dharma Sena mengatakan masih akan mendalami informasi tersebut. "Masih kami cek, benar atau tidak," tambahnya.
Universitas Diponegoro membantah kematian AR, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran, diduga bunuh diri karena dipicu masalah perundungan.
"Berdasarkan hasil investigasi internal kami, hal tersebut tidak benar," kata Manajer Layanan Terpadu dan Humas Undip, Utami Setyowati, saat menyampaikan tanggapan tertulis Rektor Undip di Semarang, Kamis, 15 Agustus 2024.
Menurut dia, almarhumah merupakan mahasiswi yang berdedikasi terhadap pekerjaannya, namun memiliki permasalahan kesehatan yang memengaruhi proses belajar.
Meski demikian, kata dia, Undip tidak bisa menjelaskan lebih detil mengenai masalah kesehatan yang dialami korban.
Ia menuturkan, mahasiswinya itu sempat mempertimbangkan untuk mengundurkan diri akibat kondisi tersebut.
"Namun almarhumah mengurungkan niat karena secara administratif terikat pada ketentuan penerima beasiswa," katanya.
Meski demikian, menurut dia, Undip sangat terbuka dengan fakta lain di luar hasil investigasi yang telah dilakukan.
"Undip siap berkoordinasi dengan pihak manapun untuk menindaklanjuti tujuan pendidikan dengan menerapkan 'zero bullying' di Fakultas Kedokteran," katanya.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mendorong aparat penegak hukum mengusut secara tuntas kasus tersebut.
"Miris mendengar berita di kampus seperti ini. Dulu kita pernah dengar, (di) STPDN (ada) perilaku kekerasan senior kepada yunior sampai ada korban. Sekarang, kita mendengar FK yang konon sudah dari dulu seperti ini, bahkan tidak hanya (terjadi) di satu kampus ini saja. Segera usut tuntas kasus ini," kata Fikri dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan apabila korban bunuh diri karena perundungan, aparat penegak hukum harus memberikan efek jera kepada pelaku.
Tidak ingin korban perundungan semakin banyak berjatuhan, Fikri juga mendorong pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait untuk membenahi seluruh sistem manajemen perguruan tinggi. Menurut dia, pendidikan Indonesia tidak akan bisa melahirkan generasi yang menerapkan penuh nilai-nilai Pancasila, tanpa pembenahan tersebut.
Ia pun memandang pembentukan satuan tugas khusus menangani perundungan bernilai penting untuk dibentuk.
“(Perundangan) ini tidak manusiawi di seluruh Indonesia. Kembalikan pendidikan yang humanistik dan sesuai budaya Indonesia yang sopan dan religius saling menghormati. Karena ini sudah lama dan membudaya, penyelesaiannya harus sistemik dan berkelanjutan dilakukan oleh satgas khusus. Ini darurat,” kata dia.
Berikutnya: Kementerian Kesehatan hentikan sementara program studi anestesi RSUP Kariadi