TEMPO.CO, Jakarta - Dwi Ardianta Kurniawan, seorang peneliti di Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM), mendukung penerapan sistem multiprovider untuk suplai avtur guna menekan harga tiket pesawat yang tinggi.
Dikutip dari laman UGM, Dwi Ardianta menyatakan bahwa sistem multiprovider yang diusulkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan mencegah praktik monopoli penjualan avtur di Indonesia dan mendorong terciptanya harga avtur yang lebih kompetitif.
Selain itu, Dwi Ardianta juga menekankan pentingnya kebijakan insentif fiskal sebagai solusi untuk mengatasi tingginya harga tiket pesawat di Indonesia. Insentif ini bisa diterapkan pada biaya avtur, suku cadang pesawat, serta subsidi dari penyedia jasa bandara terhadap biaya pelayanan jasa pendaratan, penempatan, dan penyimpanan pesawat udara (PJP4U), biaya handling di darat, dan biaya operasi langsung seperti pajak bahan bakar minyak dan pajak suku cadang dalam rangka pemeliharaan.
Dwi Ardianta juga menyatakan bahwa komponen pembiayaan perawatan bandara bukanlah penyebab utama mahalnya harga tiket pesawat, karena tarif bandara tidak bisa dinaikkan sewaktu-waktu tanpa persetujuan dari Kementerian Perhubungan.
Ia menegaskan bahwa isu mahalnya harga tiket pesawat hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu dan lebih dipengaruhi oleh harga avtur, nilai tukar rupiah, dan ketersediaan layanan pada rute-rute tertentu.
Menurutnya, harga tiket domestik di Indonesia rata-rata lebih mahal dibandingkan tiket ke luar negeri. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk persaingan yang lebih ketat di pasar penerbangan internasional dan ketersediaan armada yang belum sepenuhnya pulih pasca COVID-19, sementara permintaan konsumen sudah kembali normal.
Pilihan Editor: Ahli Ekonomi UGM Bicara Soal Tiket Pesawat Mahal