TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) menganggap adanya gejala deindustrialisasi dengan masifnya produk impor melalui pasar online, serta mengalahkan UMKM. “Kami temukan fakta 74 persen produk e-commerce itu adalah produk impor. Sementara 24,8 persen UMKM statusnya on boarding dan belum bisa dipastikan berapa produsen,” kata Plt. Deputi Bidang UKM Kemenkop UKM, Temmy Setya Permana, saat diskusi Kantor KemenKop UKM, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 6 Agustus 2024.
Padahal berdasarkan Permendag 31 Tahun 2023, kata dia, produk harus mencantumkan negara asal mengingat masifnya produk impor, maka terjadi penurunan kontribusi terhadap PDB dari sektor industri. “Yang biasanya di atas 20 persen, saat ini hanya mencapai 18 persen dalam 5 tahun terakhir,” ujarnya.
Temmy menuturkan, salah satu faktor yang mendorong situasi itu adalah pola kecenderungan masyarakat, berdasarkan data BPS, dari platform Shopee, 88 persen masyarakat dengan pengeluaran minimal Rp 429 ribu per orang. “Jadi memang sudah menjadi gaya hidup, belanja online itu,” ujar Temmy.
Ia berkaca dari beberapa tahun lalu saat Indonesia mengimpor bahan baku dan mesin. Namun, kata Temmy, sekarang justru mengimpor produk-produk akhir seperti pakaian jadi, furnitur, sepatu, tas, kosmetik, dan lainnya. “Ini yang kami khawatirkan bahwa memang terjadi pergeseran minat pasar, minat konsumen kita,” katanya. Temmy mengatakan, alih-alih melihat merek dan kualitas, masyarakat justru mempertimbangkan harga murah.
Lebih dari itu, menurut dia, situasi itu dapat menimbulkan fenomena margin hunter seperti para pelaku usaha yang memilih membeli ketimbang memproduksi dan membuat workshop. “Harganya lebih murah, kasih label sendiri kita jual. Itu lebih menjanjikan keuntungan untuk mereka. Kalau semuanya dibiarkan, lama-lama tidak ada investasi, tidak tumbuh nanti,” katanya.
Pilihan editor: Hotel di Balikpapan dan Penajam Paser Utara Habis Dipesan Tamu Undangan Upacara 17 Agustus di IKN