TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Pembangunan Nasional (PPN / Bappenas) dan World Resources Institute (WRI) Indonesia tengah menyusun indikator capaian transisi energi berkeadilan. Indkator tersebut nantinya akan digunakan Bappenas dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-20245 di sektor transisi menuju ekonomi berkelanjutan.
Country Director WRI Indonesia Nirata Samadhi menjelaskan indikator transisi energi berkeadilan akan menyasar percepatan dekarbonisasi di berbagai sektor. Salah satunya mendorong pembangunan berbasis analisis masalah dampak lingkungan.
"Indikator transisi energi berkeadilan akan menjadi pijakan dalam melakukan berbagai kajian ilmiah, membangun basis data dalam pembangunan dan rancangan kebijakan pemerintah," kata Samadhi di Jakarta, Selasa, 6 Agustus 2024.
Lebih lanjut, Samadhi memaparkan ada lima topik bahasan dalam penyusunan indikator transisi energi berkeadilan. Pertama yaitu penerapan kajian akademik di sektor industri nikel. Kedua penyusunan rencana strategis pembangunan di wilayah pesisir dan pulau kecil.
Kemudian ada pengembangan sistem pangan berkelanjutan, basis data dan kajian potensi sumber daya air dan kerangka kerja untuk memastikan terwujudunya transisi energi berkeadilan.
"Indikator ini akan memastikan manfaat dan risiko transisi energi menuju masa depan energi yang berkelanjutan dibagi secara merata di seluruh masyarakat yang terdampak," kata Samadhi.
Menurut dia selama ini kebijakan dalam peralihan menuju energi bersih masih menimbulkan sejumlah persoalan. Dalam industri nikel, misalnya, dampak sosial-ekonomi dan kerusakan lingkungan masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan.
Di lain sisi, Samadhi melihat kebijakan transisi energi juga berdampak terhadap perekonomian daerah yang selama ini bergantung pada industri batu bara. Dia mengatakan kebijakan transisi energi akan mengancam 1,9 juta pekerja tambang batu bara yang akan kehilangan lapangan pekerjaan.
"Misalnya di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang sangat bergantung pada batu bara akan terjadi penurunan PDB akibat percepatan transisi energi. Hal ini menegaskan perlunya diversifikasi ekonomi dan kebijakan yang ditargetkan untuk melindungi perekonomian masyarakat di daerah-daerah terdampak transisi energi," jelasnya.
"Untuk mendukung transisi berkeadilan, penting untuk memiliki kerangka kerja dalam menjaga dan memastikan prinsip-prinsip berkeadilan diterapkan dalam proses transisi."
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Vivi Yulaswati, mengatakan ketersediaan indikator menuju transisi energi bersih akan bermanfaat untuk mendorong Indonesia keluar dari middle income trap.
Keberadaan kerangka kerja dalam konsumsi energi, kata dia, ditargetkan bisa mencapai dekarbonisasi di semua sektor, terutama transportasi dan industri. Selain itu Vivi menyebut keberhasilan transisi indikator energi berkeadilan akan melindungi sektor lain seperti ketahanan pangan dan pengurangan emisi karbon.
Kendati demikian, Vivi mengatakan saat ini Indonesia masih berfokus pada sektor nikel. Padahal, kata dia, potensi energi baru terbarukan seperti panas bumi yang jumlahnya berlimpah, belum tergarap maksimal. "Pembangunan kita sampai saat ini masih sangat tergantung pada energi fosil. Dan ini tentunya tidak saja menimbulkan peningkatan emisi gas rumah kaca," katanya.
Pilihan Editor: Dorong Ekonomi Sirkular di Indonesia, Menko Airlangga: Hari Ini Ada 152 Perusahaan Punya Sertifikat Hijau