TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah mengklaim perubahan kedua Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE kini menjamin kebebasan masyarakat untuk berpendapat di ruang digital.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Teguh Afriyadi pada acara diskusi publik yang berkolaborasi dengan Tempo tentang perubahan kedua UU ITE dan implikasinya bagi Masyarakat di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis, 11 Juli 2024.
Teguh menjelaskan, perubahan tersebut merupakan bentuk keberhasilan antara publik, media, dan Lembaga non-pemerintah yang membangun keseimbangan dalam sebuah implementasi penerapan Undang-undang.
“Awalnya banyak sekali keluhan masyarakat terkait penerapan UU ITE khususnya dari aspek pidana. Keluhan ini kemudian digaungkan juga oleh media, dan juga banyak masukan dari Lembaga non-pemerintah yang sampai kepada presiden,” ujar Teguh.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebelumnya resmi mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Revisi UU ITE) yang merupakan perubahan kedua, pada Selasa, 5 Desember 2023 lalu. Rencana perombakan UU ITE ini awalnya disampaikan Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada Februari 2021.
Kepala Negara menegaskan, penerapan UU ITE harus memberikan keadilan bagi masyarakat. Jika prinsip keadilan itu tak terpenuhi, pemerintah akan meminta DPR bersama-sama merevisi UU ITE ini.
Adapun perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi kebijakan besar untuk menghadirkan ruang digital yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan.
Berdasarkan Rapat Panja serta Rapat Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) telah menyelesaikan pembahasan dan menyepakati perubahan 14 pasal eksisting dan penambahan 5 pasal RUU Perubahan Kedua UU ITE.
Beberapa norma pasal yang disempurnakan antara lain mengenai alat bukti elektronik (Pasal 5), sertifikasi elektronik (Pasal 13), transaksi elektronik (Pasal 17), perbuatan yang dilarang (Pasal 27, Pasal 27 (a), Pasal 27 (b), Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36 beserta ketentuan pidana (Pasal 45, Pasal 45 (a) dan Pasal 45 (b)), peran pemerintah (Pasal 40), dan kewenangan penyidik pegawai negeri sipil (Pasal 43).
Perubahan kedua UU ITE juga melengkapi materi yang meliputi identitas digital dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik (Pasal 13 (a)), perlindungan anak dalam penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 16 (a) dan Pasal 16 (b)), kontrak elektronik internasional (Pasal 18 (a)), serta peran pemerintah dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif (Pasal 40 (a)).
Sebelumnya UU ITE dianggap menjadi momok bagi masyarakat karena dianggap akan memberangus kebebasan bererekspresi. Namun, menurut Wakil Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Pol Dani Kustoni dan pihaknya siap mengimplementasikan UU ITE perubahan kedua.
Ia pun menegaskan, dengan adanya UU ITE, masyarakat tidak perlu takut untuk menyampaikan pendapat di muka umum. “Karena memang itu juga salah satu hak warga negara, tetapi juga harus memperhatikan hak orang lain,” kata Dani.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Indonesia Cyber Security Forum, Ardi Sutedja. Menurut Ardi, tidak ada produk hukum yang sempurna, namun harus mengikuti perkembangan zaman. Ia pun berharap sebagian persoalan di masyarakat bisa teratasi.
“Pada akhirnya sebagian bisa teratasi dengan perubahan yang terakhir, ini bukan berarti semuanya bisa diselesaikan. Tapi diharapkan keluhan Masyarakat selama ini paling tidak bisa diakomodir,” ucap Ardi.
Adapun Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edmon Makarim berharap ada banyak lagi hal-hal yang bisa diproteksi oleh UU ITE dan jangan dipersepsikan hanya pidana. Karena pidana pada UU ITE akan berhenti Ketika KUHP berlaku di 2026. “Bila UU ITE hanya dilihat dari sisi pidananya, semua akan terlihat menyeramkan," ucapnya.
Edmon menyebut UU ITE tidak hanya soal pidana, tapi banyak aspek lain yang bisa dilindungi, seperti data pribadi, kepastian perlindungan anak di ekosistem digital, serta menciptakan ekosistem yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika atau Menkominfo Budi Arie Setiadi menggarisbawahi dua tujuan utama perubahan kedua Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Kedua tujuan utama itu adalah bertujuan untuk meningkatkan kepastian hukum dan mengakui serta menghormati hak dan kebebasan individu dalam ruang digital.
“Dengan konvergensi regulasi ini, diharapkan terbentuk ekosistem digital aman, andal, dan terpercaya bagi semua pengguna, serta mendorong perkembangan teknologi informasi yang bertanggung jawab di Indonesia,” kata Budi Arie.
Piliihan Editor: Buntut PDN Kena Serangan Siber, Dirjen Aptika Kominfo Mengundurkan Diri