Selain itu, Andry menyatakan pengajuan BMAD belum mewakili keseluruhan produsen keramik. Dia menilai rekomendasi tersebut hanya merepresentasikan 26 persen dari produksi keramik porselen secara nasional. Dia menilai minimnya keterwakilan produsen bertentangan dengan perjanjian antidumping yang disepakati oleh World Trade Organization atau WTO.
"Perjanjian Anti Dumping WTO yang mensyaratkan adanya major proportion dari total produksi domestik untuk pengajuan tersebut," kata Andry.
Lebih lanjut, kata Andry, kesalahan juga terjadi ketika KADI menggeneralisir tipe keramik. Saat ini, kebutuhan akan keramik porselen masih belum bisa dipenuhi oleh produsen dalam negeri. Sementara produsen dalam negeri saat ini memiliki keunggulan dalam memproduksi keramik body merah.
"Penggeneralisiran ini menyesatkan dan dapat menyebabkan kebijakan yang tidak tepat sasaran," katanya.
Andry mengatakan pemberian BMAD untuk produk asing juga belum mendesak. Sebab pemerintah baru saja memperpanjang kebijakan insentif Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk sektor industri keramik.
Dia menambahkan, industri keramik Indonesia saat ini memiliki target penambahan jumlah ekspansi keramik sebesar 88 juta meter persegi hingga akhir tahun 2024, dari kapasitas total sebesar 625 juta meter persegi yang sudah ada. "Artinya, pengenaan BMAD belum mendesak untuk
diterapkan pada produk ini," kata Andry.
Selanjutnya: "Ada tambahan kapasitas baru di industri keramik...."