Di pasaran, kata Nandi, terjadi persaingan harga yang tidak sehat. Produk lokal kalah bersaing secara harga dengan produk yang berasal dari luar negeri. Nandi mengatakan konveksi adalah pihak paling terdampak dibandingkan dengan perusahaan tekstil skala besar. "Industri tekstil memang sedang dalam masalah, tetapi kalau dilihat konveksi yang masuk kategori industri kecil menengah (IKM) paling sulit situasinya," ujarnya.
"Yang kita hasilkan ini adalah produk yang dipasok untuk pasar, untuk online shop. Tapi secara harga, ternyata ada produk yang lebih murah dan tentu saja kita kalah," ujarnya.
Di beberapa konveksi yang ada di Kabupaten Bandung, ada yang sudah berhenti produksi sejak sebulan terakhir. Nandi khawatir jika persoalan impor ilegal tidak diatasi, pelaku usaha tekstil akan menjual alat produksi mereka. "Kalau sampai menjual mesin produksi, ini sulit untuk bangkit karena modalnya cukup besar," ujarnya.
Selain kembali memberlakukan Permendag Nomor 36 Tahun 2023, Nandi mengatakan pemerintah harus membongkar dugaan praktik impor ilegal.
"Kemendag dan Kementerian Keuangan melalui Bea Cukai harus membongkar bagaimana bisa produk-produk impor ilegal ini bisa masuk," katanya.
Tempo mengonfirmasi dugaan impor produk tekstil ilegal kepada Direktur Humas Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, dan Direktur Jenderal Bea Cukai Askolani. Namun hingga berita ini dimuat, keduanya tidak memberikan tanggapan.
Pilihan Editor: Bahlil: Hilirisasi Sekarang Itu Belum Betul-betul Berkeadilan 100 Persen