Tapi kaya SDA saja tidak cukup, jadi pemilik saja tidak cukup, karena itu membuat bangsa pemalas yang hanya menjual bahan mentah kekayaannya. Tanpa ada nilai tambah, tanpa ada keberlanjutan.
Saya ingin tegaskan Indonesia tidak boleh seperti itu. Indonesia harus menjadi negara yang mampu mengolah sumber dayanya, mampu memberikan nilai tambah, dan menyejahterakan rakyatnya. Dan ini bisa dilakukan melalui hilirisasi. Hilirisasi yang ingin kita lakukan adalah melakukan transfer teknologi yang memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan, serta meminimalisir dampak lingkungan.
Pemerintah telah mewajibkan perusahaan tambang membangun pusat persemaian untuk mengembalikan hutan dan lahan pasca tambang.
Hilirisasi yang ingin kita lakukan bukan hanya pada komoditas mineral. Tapi juga nonmineral, seperti sawit, rumput laut, kelapa dan komoditas potensial lainnya. Mengoptimalkan kandungan lokal dan bermitra dengan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), petani, dan nelayan sehingga manfaatnya langsung dirasakan rakyat kecil.
Upaya ini sedang kita lakukan dan harus terus dilanjutkan. Ini memang pahit bagi pengekspor bahan mentah dan bagi pendapatan negara jangka pendek. Tapi jika ekosistem besarnya sudah terbentuk, pabrik pengolahannya sudah beroperasi, saya pastikan ini akan berbuah manis, terutama bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sebagai gambaran, setelah kita hentikan ekspor nikel ore pada2020, investasi hilirisasi nikel tumbuh pesat. Kini ada 43 pabrik pengolahan nikel yang membuka peluang kerja sangat besar. Ini baru satu komoditas, jika konsisten dan mampu melakukan hilirisasi untuk nikel, tembaga, bauksit, CPO, dan rumput laut.
Berdasarkan perkiraan hitung-hitungan dalam sepuluh tahun, pendapatan per kapita kita akan mencapai Rp 153 juta atau US$ 10.900. Dalam 15 tahun, pendapatan per kapita Rp 217 juta atau US$ 15.800. Dan dalam 22 tahun, pendapatan per kapita kita Rp 331 juta atau US$ 25.000.
Sebagai perbandingan, 2022 kemarin, kita di angka Rp71 juta, artinya, dalam sepuluh tahun lompatannya bisa dua kali lipat lebih. Pondasi untuk menggapai itu semua sudah dimulai, pembangunan infrastruktur, dan konektivitas pada akhirnya menaikkan daya saing.
Berdasarkan International Institute for Management Development (IMD), daya saing kita pada 2022 naik dari peringkat 44 menjadi 34. Ini kenaikan tertinggi di dunia. Pembangunan di desa pinggiran dan daerah terluar yang memeratakan ekonomi dengan dana desa. Total Rp 539 triliun dari 2015 sampai 2023.
Konsistensi reformasi struktural, terutama penyederhanaan regulasi, kemudahan perizinan, kepastian hukum, dan pencegahan korupsi. Semua itu modal kita untuk meraih kemajuan.
Selanjutnya: Oleh sebab itu, saya berulang kali menyampaikan...