TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pimpinan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cabang Purwakarta Alin Kosasih mengatakan seluruh karyawan PT Sepatu Bata Tbk alias Bata sudah selesai dibayarkan. "Pesangon sepertinya sudah beres semua. Belum ada keluhan dari karyawan," kata Alin dihubungi Tempo melalui pesan singkat pada Kamis, 16 Mei 2024.
Alin tidak menjelaskan secara detail berapa jumlah karyawan yang mendapatkan pesangon pada Rabu, 15 Mei 2024. Pemberian pesangon dilakukan 2 kali jadwal yakni Senin, 13 Mei 2024 dan Rabu, 15 Mei 2024.
Alin tidak membeberkan berapa nominal pemberian pesangon kepada masing-masing karyawan Bata dan berapa jumlah karyawan yang telah menerima pesangon. Menurutnya, besaran variasi sesuai masa kerja dan sesuai dengan aturan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (PMTK) sekitar Rp 30 sampai 40 juta per orang untuk 233 pekerja Bata di Purwakarta, Jawa Barat yang mengalami pemutusan hubungan kontrak (PHK) imbas perusahaan itu mengalami kebangkrutan.
Dewan Penasihat Fashion Chamber (IFC) Ali Charisma melihat kebangkrutan Bata dengan perspektif sendiri. Memang salah satu penyebab suatu perusahaan ditinggal peminatnya adalah inovasi, namun Ali menduga di dalam perusahaan Bata mengalami permasalahan yang lebih besar sekedar itu.
"Ya menurut saya, tidak bisa divonis Bata itu tutup karena inovasi. Itu, kita tidak tahu sih sebenarnya tutupnya karena apa , bisa jadi tidak ada hubungannya sama sekali dengan inovasi, bisa jadi urusan manajemen. Saya pikir itu jauh lebih rumit," kata Ali dihubungi Tempo melalui saluran telepon pada Kamis, 16 Mei 2024.
Ali menyebut sebenarnya Bata bisa memposisikan diri dalam menentukan target pasarnya, terlebih perusahaan itu sudah berdiri puluhan tahun lalu dan sempat menjadi primadona pada masanya.
Pasar Bata diklaim dulunya menyasar pada kalangan menengah atas saat menjadi primadona, namun seiring berkembangnya waktu menurun ke menengah hingga bawah.
"Dulu kan awal-awal Bata nongol dengan untuk pasar menengah atas, karena belum ada saingan. Jadi orang belum tentu mampu beli sepatu Bata semuanya, pada zamannya," ucapnya.
Ali mengakui, dulu 20 tahun lalu dia sempat memiliki sepatu merek Bata. Namun untuk saat ini, dia meninggalkan merek itu karena, sepatu Bata bukan yang dia incar.
Dia menduga kebangkrutan Bata karena sasaran target pasar yang salah. Padahal manajemen seharusnya menyiapkan riset target pasar yang hendak disasar termasuk level penghasilan calon pembeli.
"Jika semuanya sudah dipelajari, dilakukan desain sesuai dengan kebutuhan, inovasinya yang harus mengikuti, tapi kunci utamanya mereka harus ikutin teknologi," ujarnya.
Permintaan pasar melihat informasi dari teknologi baru desain itu dibuat, kemudian diuji di pasar, jika minim peminatnya dibenahi lagi.
"Bisa jadi sekarang ini salah target, dibilang enggak fesyen juga masih banyak produk-produk yang lebih jelek. Bata pun enggak terlalu jelek," ujarnya.
Ali mengatakan dalam sebuah perusahaan memang diperlukan pembenahan, dia mencontohkan perusahaan tekstil terbesar sekelas Sritex saja bisa mengalami kebangkrutan. Maka perusahaan lain harus dinamis.
"Tapi ngomongin produk bisa bertahan lama harus punya DNA brand yang mengikuti masanya misal punya produk 30 tahun lalu, kita harus rebranding (memperbaharui), perbaiki target sesuai kemauan pasar dan pengaruhnya banyaknya dari sisi teknologi baik pembeli, kemudian jadi tren, kita harus ikuti itu," ujarnya.
Ali ,menduga bisa jadi penutupan cabang perusahaan Bata di Purwakarta menjadi salah satu upaya perombakan total.
"Jadi bisa saja ada strategi lain yang mereka lakukan, menurut mereka harus refreshing atau bagaimana tutup cabang dulu nanti buka lagi yang baru. Kita juga tidak tahu bisa jadi mereka yang lebih tahu," ujarnya.
Pilihan Editor: Jokowi Akan 'Cawe-cawe' Beresi Bea Cukai, Ini Deretan Masalah yang Disorot Masyarakat