TEMPO.CO, Jakarta - Perusahaan tekstil PT Pan Brothers Tbk (PBRX) sedang berjuang agar terhindar dari kepailitan seperti yang dialami Sritex. Pada Jumat, 22 November 2024 mendatang, masa perpanjangan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) akan berakhir dan dijadwalkan disidangkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Keputusan penundaan PKPU tersebut diputuskan pada 25 Juli 2024 lalu pada perkara nomor 149/Pdt.Sus-PKPU/2024/PN.Niaga.Jkt.Pst. dan 150/Pdt.Sus-PKPU/2024/PN.Niaga.Jkt.Pst. Direktur Pan Brothers, Fitri Ratnasari Hartono menyampaikan akan mengikuti proses dan mekanisme PKPU sesuai peraturan yang berlaku. Selain itu, ia menyampaikan bahwa kegiatan usaha tetap normal.
“Kegiatan usaha dan operasional Perseroan masih berjalan normal hingga saat ini,” tulis Fitri dalam keterangan resminya, dikutip Kamis, 31 Oktober 2024.
Pada laporan keuangan konsolidasian interim per 31 Maret 2024, Pan Brothers memiliki liabilitas jangka pendek sebesar US$ 188.270.396 atau setara Rp 2,9 triliun (asumsi kurs Rp 15.700 per dolar AS).
Liabilitas jangka pendek mencakup utang usaha, utang pihak ketiga, hingga utang pajak. Sementara itu, liabilitas jangka panjangnya mencapai US$ 364.988.316 atau senilai Rp 5,7 triliun. Di sisi lain, Pan Brothers tercatat memiliki total aset sebesar US$ 698.597.679.
Kondisi keuangan salah satu pemain besar di industri tekstil Indonesia ini sudah mengalami kontraksi sejak masa pandemi Covid-19. Pada 2021 lalu, Pan Brothers sempat digugat pailit oleh PT Maybank Indonesia. Namun, gugatan tersebut ditolak oleh pengadilan.
Dalam keterangan resminya pada 15 November 2021, Pan Brothers memaparkan tantangan yang dihadapi di masa pandemi Covid-19 dan dihentikannya fasilitas kredit yang digunakan sebagai modal kerja membuat kondisi arus kas Perseroan menjadi sangat tertekan. Namun, Perseroan saat itu mengklaim masih bisa terus membukukan laba positif dan menjaga operasional tanpa pengurangan karyawan.
Di sisi lain, saat ini saham PBRX berada di level Rp 23. PBRX mendapat notasi khusus dari Bursa Efek Indonesia (BEI) karena adanya permohonan PKPU, terlambat menyerahkan laporan keuangan, perusahaan tercatat di papan pemantauan khusus, dan harga rata-rata saham selama enam bulan di pasar regular kurang dari Rp 51.
Namun, secara umum saat ini saham emiten tekstil sedang dalam tren yang buruk. Pengamat pasar modal sekaligus founder WH Project, William Hartanto mengatakan sektor tekstil belakangan kurang diminati publik.
“Saham-saham ini (tekstil) memiliki likuiditas minim sehingga tidak menarik perhatian trader,” kata William kepada Tempo, Kamis 31 Oktober 2024.
Selain itu, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta juga menilai saham-saham emiten tekstil masuk kategori not rated. Seperti William, ia menilai saham-saham tersebut memiliki likuiditas rendah.
Pilihan Editor: Pan Brothers Selesaikan Rights Issue 2023, PT Trisetijo Manunggal Utama Pegang 31,25 Persen Saham