"Inflasi pun relatif terjaga dan untuk pertama kalinya, pada Feb 2020 indikator PMI Manufaktur Indonesia kembali ke zona ekspansi," tutur dia.
Kesebelas, Prastowo menyebut dirinya dan AHY satu pendapat, yakni prioritas dan alokasi anggaran ketika krisis dan ekonomi tertekan harus diarahkan untuk meringankan penderitaan rakyat, terutama petani, buruh, nelayan, dan golongan lemah lainnya.
"Karena nyatanya 55,2% atau Rp492,0 T atau mayoritas belanja pemerintah pusat semester I-2023 diarahkan untuk melindungi dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat," tulis Prastowo.
Keduabelas, pemerintah menggelontorkan ratusan triliun untuk belanja perpajakan setiap tahun. Prastowo menyebut, saat pandemi, ditambahkan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN), termasuk di dalamnya untuk subsidi pajak DTP atau ditanggung pemerintah.
"Belum lagi tax holiday utk industri pionir, serta UU HPP yg mengatur WP OP UMKM dengan omzet di bawah Rp500jt tidak kena PPh. Ini UU terobosan di 2021 agar keadilan lebih substansial," cuit Prastowo.
Ketigabelas, Prastowo menyebut pemerintah tidak berdalih, tetapi memang amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yang membatasi jumlah pinjaman maksimal 60 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB).
"Utk mengendalikannya, efisiensi bunga utang selalu ditingkatkan dengan tetap memperhatikan volatilitas pasar keuangan global," ungkap Prastowo. "Ketersediaan likuiditas pemerintah juga dicermati."
Sehingga, dia menilai bukan tanpa alasan lembaga pemeringkat R&I meningkatkan outlook Indonesia menjadi positif, dari sebelumnya stabil, dengan peringkat BBB+. Artinya, kata dia, tata kelola Indonesia baik dan diapresiasi.
Terakhir, Prastowo menilai dengan menghentikan utang yang selama ini terkendali, maka Indonesia akan kehilangan kesempatan untuk dapat berbelanja pada sektor prioritas.
"Karena faktanya, meskipun utang bertambah 1,6x, pemerintah dapat mempercepat pembangunan infrastruktur karena alokasi anggaran naik 2,3x ; pendidikan naik 1,3x ; kesehatan naik 1,9x ; dan perlindungan sosial naik 3,8x," ujar dia.
Pilihan editor: Said Didu Sebut Bunga SBN Terlalu Tinggi dan Merugikan Negara, Jubir Sri Mulyani: Jangan Hobi Framing