TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyatakan prospek ekonomi global dipenuhi ketidakpastian dan risiko tinggi. Lampu kuning risiko penurunan ekonomi ini bahkan telah disampaikan IMF sebelumnya.
“Saya berharap prospek ekonomi global secerah langit di Bali, tapi sayangnya tidak,” kata Georgieva dalam keterangan tertulis, Sabtu, 16 Juli 2022.
Perang di Ukraina yang semakin intensif, kata Georgieva, telah memberikan tekanan lebih terhadap harga komoditas dan pangan yang berpengaruh terhadap keadaan ekonomi global. Kondisi keuangan global pun mengetat lebih dari yang diperkirakan sebelumnya.
IMF bahkan membuka kemungkinan untuk memangkas proyeksi ekonomi global pada 2022 dan 2023. Perkembangan itu akan disampaikan dalam Outlook Ekonomi Dunia akhir bulan nanti. Adapun pada April lalu, IMF memperkirakan ekonomi global tumbuh 3,6 persen.
Georgieva mengatakan untuk menghadapi situasi ini, perlu intervensi kebijakan yang lebih kuat guna mencegah dampak yang lebih buruk, terutama terhadap negara-negara berkembang. Negara-negara dengan tingkat utang yang tinggi dan ruang kebijakan yang terbatas akan menghadapi tekanan tambahan.
Negara-negara tersebut berpotensi mengalami aliran modal keluar yang berkelanjutan selama empat bulan berturut-turut. “Mereka sekarang menghadapi risiko membalikkan tiga dekade mengejar ketertinggalan dengan ekonomi maju dan malah jatuh lebih jauh di belakang,” katanya.
Untuk mengantisipasi pelbagai tekanan ini, Georgieva mengatakan ada beberapa langkah yang perlu ditempuh oleh negara-negara. Pertama, negara harus melakukan segala daya untuk menurunkan inflasi.
Kegagalan untuk meredam laju inflasi dapat berisiko terhadap kelompok rentan. Kedua, kebijakan fiskal harus membantu upaya bank sentral untuk menjinakkan inflasi.
“Ini adalah tugas yang kompleks. Dengan pertumbuhan yang melambat, beberapa orang akan membutuhkan lebih banyak dukungan, bukan lebih sedikit,” ucap Georgieva. Dengan begitu, kebijakan fiskal perlu ditekankan untuk mengurangi utang sekaligus melindungi kelompok rumah tangga rentan yang akan menghadapi guncangan baru, terutama lantaran tingginya harga energi dan pangan.
Ketiga, Georgieva melihat perlu ada dorongan kerja sama global untuk menghadapi berbagai krisis yang dihadapi dunia. “Kami membutuhkan kepemimpinan G20 terutama untuk mengatasi risiko kerawanan pangan dan utang yang tinggi,” ucap dia.
Kepemimpinan global yang kuat juga diperlukan untuk mengatasi momok beban utang yang tinggi, yang telah mencapai level teratasnya selama bertahun-tahun. Lebih dari 30 persen negara berkembang, kata dia, berpeluang menghadapi kesulitan untuk membayar utang. Selain itu, 60 persen negara berpenghasilan rendah akan mengalami tekanan lebih besar.
Baca: Bertemu Menkeu AS Janet Yellen, Sri Mulyani Sepakat Lakukan Aksi Selesaikan Krisis Pangan dan Energi
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini