TEMPO.CO, Jakarta - Untuk mengembangkan minyak dan gas bumi di Blok East Natuna, pemerintah akan membangun kilang minyak mini yang berkapasitas sekitar 20 ribu barel per hari.
Infrastruktur ini akan dibangun di tengah laut dengan investasi lebih dari Rp 250 miliar dan, apabila terwujud, Indonesia menjadi negara pertama yang membangun kilang minyak mini di tengah laut.
Menurut Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral I.G.N. Wiratmaja Puja, kapasitas kilang minyak mini ini disesuaikan dengan produksi minyak Blok East Natuna yang diperkirakan 7.000-15.000 barel per hari.
Investasi untuk pembangunan kilang minyak mini ini pada awalnya akan ditawarkan kepada badan usaha. Apabila tidak ada yang berminat, pembangunan kilang akan menggunakan dana pemerintah.
Rencananya, kilang minyak mini dibangun di tengah laut di ujung Kepulauan Natuna. Selain agar bisa digunakan bersama-sama dengan blok migas lain, pembangunan kilang dilakukan demi kedaulatan negara.
Terkait dengan teknologi, menurut Wiratmaja, tidak ada masalah karena telah tersedia. Namun, dia mengakui, belum ada negara yang membangun kilang minyak mini di tengah laut karena biayanya yang relatif mahal. Terutama jika dibandingkan dengan pembangunan kilang di darat.
“Membangun kilang di tengah laut itu keuntungannya kecil banget. Malahan mungkin tidak ada untung. Semakin besar kilang yang dibangun, semakin enak untuk profit,” ujar Wiratmaja, seperti dilansir situs resmi Kementerian, Minggu, 7 Agustus 2016.
Sebelumnya, pemerintah berencana memproduksi lebih dulu cadangan minyak di Blok East Natuna, barulah kemudian gasnya. Diperkirakan perlu waktu 3 tahun agar kandungan minyaknya dapat berproduksi atau sekitar 2019.
Minyak yang akan diproduksi ini rencananya digunakan untuk memenuhi kebutuhan di sekitar Natuna, antara lain untuk bahan bakar kapal TNI.
Blok East Natuna memiliki dua level, yakni level atas, yang merupakan gas, dan level bawah, yakni minyak. Cadangan gas di East Natuna diperkirakan empat kali lipat dari Blok Masela.
Untuk pengembangan gas ini, sedang dilakukan kajian teknologi dan market review oleh Pertamina yang memakan waktu 2 tahun. Namun pemerintah telah meminta BUMN tersebut mempercepat waktunya menjadi 1,5 tahun sehingga, pada 2017, sudah bisa ditetapkan PSC yang baru.