TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Kabinet Kerja membutuhkan pembiayaan atau utang baru senilai Rp605,3 triliun pada 2016.
Kebutuhan dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 yang berjumlah senilai Rp2.095 triliun.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan total kebutuhan pembiayaan Rp605,3 triliun tersebut terdiri dari kebutuhan defisit 2016 yang mencapai senilai Rp273,2 triliun.
Selain itu, kebutuhan investasi atau Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp58,1 triliun.
"Pembayaran jatuh tempo utang mencapai Rp256 triliun, terdiri dari jatuh tempo surat berharga negara (SBN) Rp187,2 triliun dan jatuh tempo pinjaman Rp68,8 triliun," ujarnya saat Investor Gathering 2015 di Gedung Dhanapala, Senin (7 Desember 2015).
Selain itu, kebutuhan untuk pengelolaan kebutuhan utang mencapai Rp3 triliun dan pengelolaan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) mencapai Rp15 triliun.
"Kebutuhan pembiayaan untuk 2016 mencapai Rp605,3 triliun. Itu secara gross atau kotor," katanya.
Robert menambahkan kebutuhan pembiayaan yang mencapai Rp605,3 triliun tersebut akan dipenuhi dari berbagai cara.
Salah satu cara yang dilakukan pemerintah adalah dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp532,4 triliun.
Selain itu, pembiayaan juga dipenuhi melalui penarikan pinjaman luar negeri non-subsidiary loan agreement (SLA) yang sekitar Rp69,2 triliun.
Pemerintah juga melakukan penarikan pinjaman dalam negeri senilai Rp3,7 triliun.
"Tahun depan, Indonesia akan menghadapi tantangan cukup besar, di antaranya ketidakpastian kondisi keuangan, pelebaran defisit, dan pelemahan kurs rupiah," tutur Robert.