TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Driver Online (ADO) Taha Syafariel meminta pemerintah dan DPR membuat payung hukum bagi para pekerja informal atau gig workers, terutama para pengemudi transportasi daring. Pasalnya, aturan soal pekerja itu terserak secara parsial di berbagai kementerian.
Syafariel bercerita, Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) selama ini menjadi tumpuan mereka dalam mengharapkan kejelasan status. Namun, dia justru mengaku mendengar kabar regulasi soal kejelasan status ini akan diatur di periode menteri berikutnya. “Jadi ya ada penundaan-penundaan terus,” kata Syafariel saat dihubungi Tempo, Kamis, 12 September 2024.
Sejak angkutan daring marak pada 2015 hingga kini, Syafariel menyebut regulasi tentang para pekerja informal diatur di berbagai kementerian yang berbeda. Dia mencontohkan, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tidak bisa mengikat tarif yang ditetapkan perusahaan aplikasi karena izin mereka dikeluarkan oleh Kementerian Komuniksi dan Informatika (Kominfo).
Namun ketika para pekerja memprotes Kementerian Kominfo, kementerian itu berdalih tak bisa menentukan besaran tarif. Padahal perusahaan-perusahaan itu menggunakan platform aplikasi digital—yang regulasinya juga belum ada. “Kami jadi bertanya-tanya, apakah perusahaan aplikasi ini sebenarnya ada yang membeking,” kata Syafariel.
Syafariel mengusulkan, pemerintah membuat regulasi yang bersifat lintaskementerian, misalnya Surat Keputusan Bersama (SKB) atau undang-undang di atas peraturan menteri dan peraturan pemerintah. Dia berharap, DPR juga akan turun tangan untuk mendorong undang-undang ini. Sebab, undang-undang bisa melahirkan peraturan-peraturan turunan tentang pengangkutan orang, pengangkutan batang, hingga penentuan besaran tarif.
Baca juga:
Menurut Syafariel, kondisi di Indonesia berbeda dengan di Singapura. Di Negeri Singa, undang-undang tentang para pekerja informal berbasis aplikasi—yang disebut pekerja platform—baru saja disahkan parlemen. Pengesahan itu dimungkinkan, menurut Syafariel, karena transportasi daring di negara itu memang sudah diatur sedemikian rupa. Transportasi berbasis aplikasi di sana dianggap sebagai transportasi umum. Mereka juga mendapatkan harga biaya operasional kendaraan yang sama dengan transportasi konvensional.
Syafariel mengatakan, pengaturan tentang pekerja informal itu tergantung kemauan pemerintah. Dia mengaku khawatir pemerintah justru memihak perusahaan-perusahaan aplikasi karena mereka berinvestasi dalam jumlah besar. Sedangkan para mitra perusahaan justru termarjinalkan.
Syafariel mengaku para pengemudi terpaksa harus bekerja 10 hingga 12 jam sehari karena algoritma yang dirancang penyedia platform. Mobil-mobil yang digunakan para pengemudi pun tak jarang harus menempuh jarak lebih dari 200 kilometer. “Itu menjadi sebuah hasil dari ketidakadilan atau standar ganda yang dilakukan oleh pemerintah terhadap model bisnis ini,“ kata Syafariel.
Pilihan Editor: Bos Indodax: Serangan Sistem Keamanan Perusahaan Diduga Terafiliasi dengan Korea Utara