TEMPO.CO, Jakarta - Turunnya jumlah kelas menengah di Indonesia menjadi perhatian berbagai kalangan. Hal ini karena mereka adalah kelompok masyarakat yang dianggap sebagai penggerak perekonomian karena memiliki pengeluaran konsumsi tinggi.
Berdasarkan data BPS, pada tahun 2021 jumlah kelas menengah mencapai 53,83 juta orang, tetapi angka ini terus menurun menjadi 49,51 juta pada tahun 2022, menurun lagi menjadi 48,27 juta pada tahun 2023, dan 47,85 juta pada tahun 2024. Pandemi Covid-19 pada 2020 merontokkan mereka dan belum berhasil pulih setelah wabah berlalu.
Sementara jumlah penduduk kelompok kelas atas relatif stabil, di mana pada 2021 sebanyak 1,07 juta orang dan pada 2024 juga sebanyak 1,07 juta orang. Artinya, kelas menengah yang hilang itu turun kelas, bukan naik kelas. Penurunan kelompok kelas menengah itu mengindikasikan adanya tekanan ekonomi.
Berikut sejumlah fakta tentang kelas menengah Indonesia:
1. Penghasilan
Menurut kriteria Bank Dunia pada 2024, kategori penduduk yang termasuk kelas menengah di Indonesia memiliki pengeluaran berkisar antara Rp2.040.262 hingga Rp9.909.844 per kapita per bulan.
Rentang pengeluaran ini mencerminkan gaya hidup yang relatif stabil, dimana kelompok ini mampu memenuhi kebutuhan dasar hingga memiliki sisa pendapatan atau gaji untuk ditabung. Kelompok ini juga umumnya sedang mencicil rumah atau kredit pemilikan rumah (KPR), kendaraan pribadi, serta peralatan elektronik.
Kepemilikan aset-aset ini tidak hanya menjadi penanda stabilitas finansial, tetapi juga mencerminkan kontribusi mereka dalam menggerakkan perekonomian, baik melalui pengeluaran konsumtif maupun pembayaran pajak.
2. Sulit Naik Kelas
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai median kelas menengah berada di angka Rp2.846.440 per kapita per bulan. Artinya, median pengeluaran penduduk kelas menengah cenderung lebih dekat ke batas bawah pengelompokan.
Ini artinya kelompok kelas menengah sulit untuk melompat menuju kelas atas, dan rentan untuk jatuh ke kelompok menuju kelas menengah atau aspiring middle class.
3. Profesional
Berdasarkan karakteristik pekerjaan, sebagian besar kelas menengah memiliki pekerjaan formal, dan lainnya menjalankan bisnis produktif atau menjadi wirausahawan.
4. Kurang Perhatian Pemerintah
Karena dianggap lebih kuat secara finansial, kelompok kelas menengah jarang mendapat perhatian pemerintah dalam hal subsidi. Mereka tidak berhak atas subsidi listrik, BBM, dan juga bantuan sosial. Ketika Covid-19 melanda, mereka seperti terlupakan.
5. Dukungan terhadap Pemasukan Pemerintah Naik
BPS mencatat, porsi pengeluaran pajak atau iuran kelas menengah pada 2019 sebesar 3,48 persen, namun pada 2024 naik menjadi 4,53 persen. Pada periode sama, porsi untuk pendidikan dari 3,64 persen menjadi 3,66 persen. Untuk barang dan jasa 6,04 persen menjadi 6,48 persen.
Pilihan Editor Kasus PPDS Undip: Kemenkes Klaim Temukan Bukti Pungli, Kampus Merasa Dihakimi