Henry mengatakan, industri kretek legal nasional sudah dalam kondisi rentan yang terlihat dari turunnya jumlah pabrik dari 4.000 di 2007 menjadi 1.100 pabrik di 2022.
"Pemerintah perlu bersiap untuk menghadapi gelombang pengangguran besar yang akan memberikan konsekuensi ekonomi maupun sosial," ujarnya.
Negara, tambahnya, juga akan kehilangan penerimaan dari cukai hasil tembakau (CHT) konvensional yang sangat besar dan akan dibarengi dengan massifnya peredaran rokok ilegal.
GAPPRI juga mencatat, PP No. 28 Tahun 2024 disinyalir melanggar Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang penghormatan hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob) warga negara dengan masing-masing profesinya.
Selain itu, PP No. 28 Tahun 2024 ruang lingkupnya lebih mewakili agenda FCTC daripada melindungi kemaslahatan asosiasi petani, serikat pekerja, asosiasi ritel, pelaku usaha, asosiasi industri tembakau.
Dalam kasus PP No. 28 Tahun 2024, lanjutnya, di luar kesehatan, pemerintah semestinya mempertimbangkan aspek lain seperti kesejahteraan rakyat, penyerapan tenaga kerja, keberlangsungan hidup petani tembakau, dan kontinuitas sektor industri kretek legal nasional, hingga penerimaan negara.
Henry mengatakan, kedaulatan negara yang diwujudkan dalam kemandirian pemerintah selayaknya secara mandiri mengambil kebijakan yang dibutuhkan, sebab pemerintah Indonesia lah yang paling tahu kondisi Indonesia. Bukan pemerintah negara lain, terlebih lagi LSM dari luar negeri.
"GAPPRI menolak keras PP No. 28 Tahun 2024 yang jelas arahnya pada misi perdagangan dan penyisipan agenda LSM asing yang disponsori oleh kapitalis industri pesaing kretek untuk menghancurkan industri kretek legal nasional," ujar Henry.
ANTARA
Pilihan Editor: Pemindahan ASN ke IKN Terancam Tertunda lagi, Pengamat: Akibat Perencanaan Lemah