TEMPO.CO, Jakarta -Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mengaku tertipu dengan janji Presiden Joko Widodo selama 10 tahun memimpin pemerintahan. Koalisi menyinggung pidato Jokowi saat menyampaikan laporan kinerja lembaga negara dan pidato kenegaraan pada perayaan Hari Ulang Tahun ke-79 Kemerdekaan RI tak menyebut frasa masyarakat adat.
“Tidak ada satu pun frasa 'Masyarakat Adat' dalam pidato itu. Pidato itu hanya berisi klaim-klaim angka keberhasilan pembangunan jalan, pelabuhan, bandara, bendungan dan jaringan irigasi. Jokowi juga mengklaim keberhasilan pembangunan smelter dan industri pengolahan untuk nikel, bauksit, dan tembaga,” kata anggota Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat Abdon Nababan dalam keterangan tertulis pada Sabtu, 17 Agustus 2024.
Hingga penghujung kepemimpinan Jokowi, Abdon mengatakan belum ada legacy baik yang ditinggalkan bekas Gubernur DKI Jakarta itu bagi Masyarakat Adat. Padahal, 10 tahun lalu, demi meraup suara Masyarakat Adat, Jokowi berjanji akan mendukung Masyarakat Adat. “Janji tinggal janji. Janji Nawacita hanya tipuan. Jokowi 10 tahun berkuasa tak satu pun janjinya dipenuhi. Jangankan berterima kasih dan minta maaf bahkan satu kata Masyarakat Adat pun tidak disebutkan di Pidato Kenegaraan terakhirnya pagi tadi,” kata dia.
Abdon mengatakan koalisinya pernah bertemu dengan Jokowi pada awal 2014 sekaligus mencatatkan enam janji untuk masyarakat adat dalam Nawacita pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Ia mengklaim koalisi dan jaringan pendukungnya pernah menyumbang 12 juta suara untuk kemenangan Jokowi-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014.
“AMAN dan jaringan pendukung bekerja secara sukarela menggalang suara. Paling sedikit 12 juta suara kami sumbangkan untuk kemenangan Jokowi-JK. Setelah kemenangan, saya mewakili AMAN menerima obor relawan dari Surya Paloh dalam satu upacara di Kemayoran,” kata Abdon Nababan.
Tak hanya itu, Abdon menyebut dalam 10 tahun pemerintahan Jokowi politik hukum masyarakat adat semakin memburuk. Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN, UU KSDAHE, dan berbagai aturan di sektor agraria dan sumber daya alam dianggap ada unsur menyangkal masyarakat adat.
“Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan sumber daya alam mengandung unsur-unsur ‘penyangkalan’ yang kuat terhadap eksistensi Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya. Political will pemerintahan sangat rendah,” kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi, mengatakan negara masih konsisten mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas. Kondisi ini disebut tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat. “Bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan Masyarakat Adat,” dia.
Sementara itu, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Syamsul Alam Agus mengatakan seluruh klaim keberhasilan dalam pidato Jokowi dibangun di atas perampasan dan penggusuran wilayah masyarakat ada.
AMAN mencatat hingga Mei 2024 telah terjadi perampasan wilayah adat seluas 11,07 juta hektar, 587 konflik masyarakat adat yang mengakibatkan 925 orang dikriminalisasi. “(Sebanyak) 687 konflik masyarakat adat yang mengakibatkan 925 orang dikriminalisasi, serta puluhan diantaranya mengalami luka-luka dan satu orang meninggal dunia,” kata Syamsul Alam Agus.
Pendapat Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo setali tiga uang. Dia mengatakan pengakuan wilayah adat dalam 10 tahun pemerintahan Jokowi baru mencapai 16 persen dari 30,1 juta hektar peta wilayah adat yang teregistrasi di BRWA. “Sedangkan pengakuan hutan adat baru mencapai 8 persen dari 3,4 juta hektar potensi hutan adat dari wilayah adat yang telah ditetapkan pengakuannya oleh Pemerintah Daerah,” kata dia.
Pilihan editor: Gaji PNS Naik Bertahap di 2025, Bappenas: Prioritaskan Guru, Nakes, dan TNI/Polri