TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat adat di Pulau Rempang, yang terancam digusur akibat Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City, menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Padahal, sedikitnya ada 16 kampung adat yang sudah dihuni lama oleh masyarakat Melayu sebelum Indonesia merdeka.
Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Muhammad Yusuf, mengungkapkan salah satu hambatan utama dalam melindungi masyarakat adat Rempang adalah belum adanya pengakuan hukum yang sah atas keberadaan mereka. “Saya belum terinformasi juga kalau di situ (Pulau Rempang) ada masyarakat hukum adat. Karena kan harus di-SK-kan nih. Kalaupun dia ada di Indonesia, tetapi tidak diakui (secara hukum), maka enggak bisa (dilindungi),” kata Yusuf kepada Tempo di sela-sela acara Forum Adat 2024 yang digelar Kementerian KKP di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 16 Agustus 2024.
Yusuf menegaskan regulasi di Indonesia mewajibkan adanya pengakuan hukum terlebih dahulu sebelum perlindungan dapat diberikan kepada kelompok masyarakat hukum adat. Dia pun mengatakan proses pengakuan ini harus diinisiasi oleh pemerintah daerah. "Harus diusulkan oleh pemerintah daerah dulu," ujarnya.
Menurut Yusuf, KKP hanya dapat memberikan dorongan dan masukan kepada pemerintah daerah untuk mengakui masyarakat adat, tetapi tidak bisa bertindak lebih jauh tanpa adanya dasar hukum yang jelas.
Situasi ini menambah kerumitan bagi masyarakat adat di Pulau Rempang yang sudah menghadapi ancaman relokasi akibat proyek besar PSN. Yusuf mengakui bahwa keterbatasan peran KKP dalam hal ini membuat mereka hanya bisa memberikan masukan kepada pihak terkait, tanpa kemampuan untuk mengambil alih fungsi otoritas lain, seperti Badan Pengusahaan atau BP Batam, yang saat ini memiliki kendali penuh atas wilayah Pulau Rempang.
Kerumitan lain adalah BP Batam bekerja di bawah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Pulau Rempang yang meski kawasannya tergolong wilayah pesisir dan pulau kecil tak bisa dicampuri oleh Kementerian KKP. “Jadi agak sulit bagi kita. Kita kan enggak mungkin bisa mengambil alih fungsinya orang,” kata Yusuf.
Wakil Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor, Achmad Solihin, menyoroti adanya kecenderungan dalam rezim hukum baru di Indonesia yang memungkinkan proyek-proyek berskala nasional, seperti PSN Rempang Eco City, untuk mengesampingkan hak-hak masyarakat adat. “Kalau saya lihat, rezim hukum baru yang kemudian apapun namanya dengan alasan PSN, itu dikatakan halal,” ujar Solihin kepada Tempo di lokasi acara yang sama.
Ia mengkritik bagaimana proyek-proyek besar seperti PSN sering kali mendapatkan prioritas yang tinggi sehingga dapat mengabaikan hak-hak yang sudah dimiliki oleh masyarakat adat. Meski suatu kelompok masyarakat adat telah diakui secara resmi oleh hukum, kata Solihin, status tersebut bisa dengan mudah dikesampingkan jika proyek PSN hadir. "Kalau misalkan negara mengatakan tidak pengakuan, bubar. Ini politis," tegasnya.
Solihin pun menegaskan Pulau Rempang dengan 16 kampung adatnya patut mendapatkan perlindungan. “Harus. Walaupun mereka belum masuk MHA,” katanya. Solihin juga mengkritik definisi MHA yang terdapat dalam regulasi pemerintah saat ini. Menurut dia, definisi tersebut tidak relevan untuk diterapkan pada masyarakat adat pesisir yang memiliki struktur sosial dan adat yang berbeda dengan masyarakat adat di wilayah darat atau hutan.
Ia mengatakan masyarakat pesisir memiliki cara pengelolaan sumber daya yang unik dan sering kali tidak melibatkan lembaga adat formal. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat pesisir yang tidak diakui sebagai MHA hanya karena mereka tidak memenuhi kriteria desa adat yang tercantum dalam regulasi. "Wilayah pengelolaan untuk masyarakat pesisir, beda dengan masyarakat hutan. Kalau hutan itu udah jelas, bukit ini punya siapa. Untuk laut, itu enggak bisa," katanya.
Pilihan editor: Jeju Air hingga Starlux Buka Operasi ke Indonesia, Catat Rute dan Tanggalnya