Dalam perjalanannya, Whoosh menghadapi aneka situasi yang tak menguntungkan. Dari biaya pembangunan membengkak, menghapus perjalanan kereta konvensional Agro Parahyangan jurusan Jakarta-Bandung, hingga dituding biang rugi PT Wijaya Karya (WIKA) akibat menangani proyek ini. Walhasil, PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) berakrobat dengan bermacam jurus.
Pembangunan proyek Whoosh menelan biaya tinggi. Awalnya biaya proyek hanya memerlukan investasi US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp86 triliun yang dananya ditanggung korporasi, bukan dari anggaran negara. Namun, rencana ini buyar karena ternyata biaya pembangunan membekak US$ 7,2 miliar atau Rp108 triliun.
Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari Datanesia Institute, Herry Gunawan, menilai membengkaknya biaya ini merupakan buntut dari tata kelola proyek yang tak baik, terutama dalam manajemen risiko. Senyampang itu, pada akhirnya BUMN mesti menyuntik proyek dengan dana dari APBN. Herry meminta pemerintah menginvestigasi sekaligus mengaudit proyek kereta cepat ini.
“Audit proyek ini, khususnya terkait dengan pembengkakan biaya, nyaris tak terdengar,” kata dia saat dihubungi melalui aplikasi perpesanan pada Jumat, 26 Juli 2024. “Biasanya ada ‘siluman’ berbaju manusia yang terkait dengan perencanaan proyek.”
Audit itu, menurut Herry meliputi pada masa konstruksi, pelaksanaan proyek, pembengkakan belanja untuk pembebasan lahan, dan pengadaan barang. Menurut dia, biaya yang menanjak tinggi itu tak logis. “Apalagi, proyek ini berpotensi meningkatkan beban APBN di masa-masa mendatang,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia mengatakan pemerintah tak boleh sungkan untuk mengevaluasi total proyek kereta cepat yang dinilai bermasalah tersebut. Kalau proyek ini akan menjadi beban yang makin berat ke depan, Herry menyarankan pemerintah bisa mengambil sikap menghentikan dengan kondisi rugi agar tak menular seperti virus dan mencari solusi agar kereta cepat ini surplus alias tidak rugi.
“Rasanya yang kedua ini sulit, ya,” kata Herry.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Sinergi BUMN Institute Achmad Yunus mengatakan pembekakan biaya ini akan berpengaruh terhadap kelayakan proyek ini di masa mendatang. Dia juga meminta pemerintah tak hanya menggunakan perspektif bisnis, tapi menganggap proyek ini bagian dari tugas negara dalam memperkecil kesenjangan infrastruktur nasional.
“Kalau tidak feasible, tapi tetap harus dikerjakan, maka negara harus hadir memberikan insentif,” kata Yunus.
Selain soal pembiayaan yang tinggi, PT Kereta Api Indonesia (KAI) juga pernah menyetip beberapa perjalanan Agro Parahyangan dari Jakarta menuju Bandung pada 24 Februari 2024 demi menarik penumpang agar pindah ke Whoosh. Dari semula 14 perjalanan, Agro Parahyangan kini hanya enam perjalanan.
Dalam laporan Majalah Tempo pada 18 Februari 2024 menjelaskan dua orang yang mengetahui asal-usul proyek Whoosh mengatakan pemerintah menghapus layanan Agro Parahyangan karena bersaing langsung dengan Whoosh.
Studi kelayakan kereta cepat Jakarta-Bandung menetapkan Whoosh harus bisa mengangkut 31 ribu penumpang dalam sehari dengan tiket Rp 350 ribu per orang untuk mencapai target balik modal selama 38 tahun. Jika jumlah penumpang di bawah target tersebut, KCIC berpotensi tekor operasi alias cash deficiency yang pada ujungnya dipikul PT KAI sebagai pemimpin konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia, pemegang saham terbesar Kereta Cepat Indonesia Cina.
Meski demikian, tarif Whoosh jadi bervariatif sejak diumumkan pada 29 Januari 2024, dari awalnya Rp 200 ribu pada hari kerja dan Rp250 ribu pada di akhir pekan kini menjadi fleksibel. Harga tiket Whoosh bisa dari Rp 200 ribu, Rp 275 ribu, hingga 300 ribu tergantung beberapa faktor, seperti jam sibuk, momen liburan, hari kerja, dan waktu akhir pekan. Tempo ketika itu mendapat harga tiket Rp 300 ribu untuk perjalanan ke Stasiun Tegalluar pukul 07.55 WIB dan Rp 250 ribu untuk perjalanan ke Stasiun Halim pada pukul 17.35 WIB.