Adapun saat ini tarif KRL yang berlaku per 25 kilometer adalah Rp 3.000. Tarif itu rencananya akan naik Rp 2.000 menjadi Rp 5.000. Untuk tarif lanjutan KRL 10 kilometer berikutnya tetap Rp 1.000.
Namun, rencana tersebut ditolak oleh anggota Komisi V DPR Suryadi Jaya Purnama. Dia mengatakan kenaikan tarif itu belum tepat mengingat masyarakat masih berjuang untuk bangkit dari pandemi Covid-19.
“Kita perlu menolak rencana kenaikan tarif dasar KRL karena sangat memberatkan masyarakat," ujarnya melalui keterangan tertulis pada Jumat, 16 Desember 2022. Apalagi Presiden Joko Widodo alias Jokowi, kata dia, telah mengatakan akan terjadi krisis pada 2023 mendatang. Sehingga, kenaikan tarif KRL memperberat beban masyarakat.
Suryadi juga merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 masih sangat tinggi, yaitu mencapai 26,16 juta orang atau 9,54 persen dari total penduduk Indonesia. Selain itu, inflasi yang terjadi secara global turut mengkerek naiknya harga bahan-bahan pokok kebutuhan masyarakat.
Lebih lanjut, dia mengatakan KRL masih mengalami overload atau penuhnya penumpang di luar kapasitas pada jam-jam sibuk. Kondisi tersebut membuat pengguna KRL belum bisa merasakan kenyamanan sepenuhnya. "Dan tentunya akibat overload tersebut seharusnya KRL Commuter Line sudah bisa mengambil keuntungan yang cukup besar tanpa perlu menaikkan tarif KRL," kata dia.
Sedangkan dari sisi keuangan, ia mencatat bahwa Kemenhub telah menggelontorkan Rp 3,2 triliun lebih untuk mensubsidi pengguna kereta api pada 2022. Ditambah dana penyertaan modal negara atau PMN juga telah diberikan pada PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau PT KAI sebesar Rp 6,9 triliun pada akhir 2021. Tahun ini pun, PT KAI mendapatkan PMN sebesar Rp 3,2 triliun.
Seharusnya, tutur Suryadi, KAI Commuter sebagai salah satu anak perusahaan PT KAI yang mengelola KRL, ikut mendapatkan manfaat dari dana PMN tersebut.
Pilihan Editor: Tolak Penundaan Bansos Usai Pemilu, Bos Bulog: Bisa Kami Pertanggungjawabkan Prosesnya