TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Jokowi sudah menekan Perpres Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan yang mengatur penerapan 12 kriteria standar bagi layanan rawat inap pasien BPJS Kesehatan, di antaranya kualitas bangunan, pencahayaan, kamar mandi, sekat tempat tidur, temperatur ruangan, hingga instalasi oksigen.
Konsekuensi dari aturan baru tersebut adalah hilangnya 3 kelas perawatan berdasarkan besar iuran menjadi KRIS atau Kelas Rawat Inap Standar. Dalam Perpres yang mulai berlaku Juli 2025 tersebut, seluruh peserta BPJS membayar iuran yang sama dan rumah sakit rekanan menyediakan kelas rawat standar.
Untuk peserta yang tidak ingin mendapat pelayanan standar, bisa naik kelas dengan tambahan biaya ditanggung sendiri.
Lantas seperti apa perawatan dengan kelas standar itu? Saat ini, peserta BPJS kelas III biasanya masuk ruang rawat inap dengan 6-8 tempat tidur. Kelas II 4 kamar tidur dan kelas I dengan 2 tempat tidur.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, mengatakan implementasi Kelas Rawat Inap Standar atau KRIS berorientasi pada peningkatan kualitas layanan kelas III pasien BPJS Kesehatan.
"Jadi yang KRIS untuk semua pasien BPJS Kesehatan. Sekarang bagaimana mengatur rumah sakit yang sudah ada kelas I, kelas II, dan kelas III," kata Mohammad Syahril dalam konferensi pers terkait KRIS di Gedung Kemenkes Jakarta, Rabu, 15 Mei 2024.
Ia mengatakan, ketentuan yang diatur dalam Perpres itu sejalan dengan Surat Keputusan Dirjen Layanan Kesehatan Kemenkes yang menetapkan standar maksimal penyediaan tempat tidur rawat maksimal empat ranjang dengan 12 kriteria layanan, kata Syahril menambahkan.
"Tidak apa-apa, jadi kelas I kan sekarang dua tempat tidur karena kan maksimal empat, kelas II ada yang tiga juga ada yang empat, aman. Nah, yang kelas III ini yang tadinya ada lima hingga tujuh tempat tidur, diharapkan maksimal ruangannya empat tempat tidur," katanya.
Syahril menambahkan, implementasi Perpres tentang Jaminan Kesehatan mengarahkan rawat inap pasien JKN pada dua kriteria, yaitu KRIS dan non-standar atau VIP maupun eksekutif.
"Kalau setelah perpres itu memang kalau dalam implementasinya rawat inap itu akan ada dua, yaitu kelas rawat inap standar dan non-standar. Artinya di luar itu (standar), VIP atau eksekutif," katanya.
Namun berdasarkan SK Ditjen Pelayanan Kesehatan bahwa kuota bagi pasien BPJS Kesehatan di RS pemerintah minimal 60 persen, sedangkan RS swasta 40 persen dari total kapasitas tampung. Tidak dijelaskan, apakah jika melebihi kuota, pasien peserta BPJS harus memilih kelas VIP atau eksekutif jika ingin dirawat di rumah sakit tersebut.
Rumah sakit perlu miliaran rupiah
Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati Jakarta, Mohammad Syahril, mengatakan pengelola layanan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) harus mengalokasikan biaya miliaran rupiah untuk merealisasikan 12 kriteria standar bagi kebutuhan pasien BPJS Kesehatan.
"Estimasinya bisa mengalokasikan beberapa miliar rupiah gitu. Kita punya anggaran renovasi, anggaran pemeliharaan, jadi kalau rumah sakit vertikal, insya Allah aman," kata Mohammad Syahril usai konferensi pers terkait KRIS di Gedung Kemenkes Jakarta, Rabu.
Syahril yang juga menjabat sebagai Juru Bicara Kementerian Kesehatan memberi gambaran tentang implementasi KRIS yang saat ini diterapkan di RS Fatmawati demi meningkatkan kualitas dan mutu layanan bagi pasien pemegang kartu BPJS Kesehatan.
Ia menyebut skema KRIS telah disiapkan sejak 2023 hingga akhirnya bisa memenuhi 12 kriteria layanan yang disyaratkan pemerintah.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan, diatur dalam Pasal 45A salah satunya berkaitan dengan kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur.
"Maksimal empat tempat tidur. Antara satu bed dengan bed lain berjarak 1,5 meter, penyekatnya harus sampai menyentuh plafon, tersedia per tempat tidur, bel satu-satu untuk memanggil perawat atau dokter," katanya.
Selain itu, kata Syahril, komponen biaya KRIS juga dialokasikan untuk penyediaan fasilitas kamar mandi di setiap lokal ruang rawat inap yang menjamin kebutuhan aksesibilitas, khususnya bagi pasien disabilitas.
"Saat ini di kelas 3 BPJS Kesehatan, kamar mandi masih ada yang di luar," katanya.
Penyedia layanan KRIS juga harus memastikan temperatur ruang rawat pada suhu 20 sampai 26 derajat Celsius yang mensyaratkan pemasangan alat pendingin ruangan atau AC.
Dikatakan Syahril, KRIS juga mewajibkan rumah sakit memasang ventilasi udara untuk memaksimalkan sirkulasi ruangan, serta jendela transparan untuk pencahayaan dari luar.
Saat ini KRIS mulai diberlakukan secara bertahap di seluruh jaringan rumah sakit yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Perpres Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan tertanggal 8 Mei 2024 menetapkan 12 kriteria standar bagi layanan rawat inap paling lambat 30 Juni 2025.
Laporan Kemenkes mencatat, sebanyak 1.053 dari total 3.176 rumah sakit nasional telah mengimplementasikan layanan KRIS per 30 April 2024.
ANTARA
Pilihan Editor Pendiri PSI Grace Natalie Dapat Jabatan di Pemerintahan dari Jokowi, Ini Profilnya