Menurut Zulvri, hal ini bisa dilakukan dengan memastikan kategori HS produk mereka dan mengakses situs web repository seperti Indonesia National Tariff Repository (https://insw.go.id/intr), ASEAN Tariff Finder
(https://tariff-finder.asean.org), dan WTO Rules of Origin Facilitator (http://findrulesoforigin.org).
Kemendag juga mengajak para eksportir untuk aktif mengakses situs web bea dan cukai Jepang, yaitu https://www.customs.go.jp/english/tariff/index.htm. Hal ini untuk mendapatkan informasi terkini mengenai berbagai tarif di Negeri Sakura.
Secara umum, menurutnya, eksportir juga harus mematuhi aturan terkait asal produk dan mengetahui aturan di negara tujuan, termasuk persyaratan kualitas produk yang diajukan calon pembeli.
Atase Perdagangan Tokyo, Merry, mengatakan bea masuk dalam skema AJCEP, sejumlah komoditas bisa lebih rendah dibandingkan skema-skema lain. Untuk itu, Kemendag mengajak eksportir untuk lebih cermat dan mempertimbangkan penggunakan skema kerja sama AJCEP jika memiliki manfaat lebih banyak bagi komoditas yang mereka ekspor.
Sementara itu, formulir Surat Keterangan Asal (SKA) AJCEP saat ini lebih banyak dimanfaatkan sektor manufaktur dan kayu lapis, serta pakaian jadi untuk ekspor ke Jepang. Merry mengatakan utilisasi skema AJCEP juga baru mencapai 10 persen dari total nilai ekspor Indonesia ke Jepang pada 2022.
"Eksportir dapat mempelajari skema AJCEP dan manfaatnya bagi ekspor komoditas yang ia miliki,” kata Merry.
Ia juga mengingatkan para eksportir yang ingin menyasar pasar Jepang untuk selalu mematuhi peraturan dan pemenuhan standar sebagai syarat memasuki pasar Jepang. Untuk itu, eksportir harus mengetahui cara mendapatkan sertifikat pemenuhan standar. “
Pilihan Editor: Misi Ekonomi Ganjar-Mahfud: Targetkan Pertumbuhan Ekonomi 7 Persen hingga Percepat Pembangunan IKN