Lebih lanjut, ia menilai perubahan aturan pengetatan impor ini salah diagnosis. Pasalnya, menurut dia, Indonesia saat ini tak dibanjiri produk impor, seperti klaim pemerintah. Dia merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS). Data impor pada pre-pandemi pada 2019 bila dibandingkan dengan data post pandemic pada 2022, kenaikannya hanya 1,2 persen.
Kemudian impor pada Januari hingga Juli 2023 dibandingkan periode yang sama pada 2022, menurut dia, kenaikannya juga hanya 4,5 persen. "Kalau pakai data BPS sebenarnya saat ini tidak terjadi yang namanya banjir impor. Jadi kalau dikatakan banjir impor apanya yang banjir?" ucap Firman.
Jika dengan data tersebut pemerintah meyakini bahwa lesunya sejumlah pedagang retail karena ada banjir impor, Firman menilai pemerintah seolah ingin mengkonfirmasi bahwa bemar saat ini ada penurunan daya beli.
Firman berujar dengan pertumbuhan impor yang kecil tersebut, retail justri mengalami penurunan secara masif. Sementara apabila masalahnya adalah penurunan daya beli, menurutnya, pengetatan impor bukan solusi permanen dan tepat.
Selain itu Aprisindo juga membandingkan data BPS dengan data International Trade Center (ITC). Tercatat dari tahun ke tahun, terdapat selisih data impor BPS dengan data ekspor ke Indonesia dari ITC.
Puncak pertumbuhan impor illegal terjadi pada 2014